Di balik novel Eka Kurniawan yang bergaya cukup blak-blakan, nyaris tanpa sensor berjudul "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", ia memberangkatkan kisah penuntasan balas dendam dan percintaan, dari eranya "Dunia dalam Berita" dan kirim-kiriman salam di radio.
Pada era 80-an tersebut, film Indonesia kebanyakan menampilkan karakter-karakter yang belum mewakili permasalahan kerakyatan yang nyata. Â Era dimana pembungkaman pers dilestarikan dan hanya ada tiga partai politik saja yang diizinkan ikut pemilu, menyisakan apa buat kebanyakan rakyat dengan kisah-kisah mereka, yang ternyata terkait dengan kaum elit saat itu?
Pada era tersebut ada banyak permasalahan sosial seperti penembakan misterius, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum militer dan polisi, hingga kekerasan seksual dan trauma, yang tidak dibahas baik oleh media maupun orang-orang. Yang hadir dalam film populer kala itu adalah stereotype karakter-karakter yang kelas menengah perkotaan yang romantis, atau kelewat mistis jika latarnya di perkampungan.
Begitulah, film yang naskahnya juga digarap oleh Eka ini menghadirkan karakter-karakter yang sebenarnya sangat relate dengan masyarakat kita pada era itu, tapi terbungkam. Tokoh utamanya laki-laki yang impoten karena mengalami trauma masa kecil. Banyak orang mengalami permasalahan demikian meski dalam level yang berbeda, namun hanya sembunyi-sembunyi mencari solusi.
Lalu ada perempuan gila dan polisi  yang terhubung oleh bentuk relasi yang dilanggengkan penindasan dan kekerasan. Kemudian si love interest tokoh utama, Iteung, juga korban penindasan dan manipulasi seksual dari orang-orang yang memiliki otoritas. Mereka terhubung oleh sosok yang tak disangka bisa terbangkitkan. Lalu lalang truk menjadi peraduan bagi entitas misterius bernama Jelita, yang berkelindan dengan nasib dari para tokohnya.
Lantas, Seperti Dendam sebagai film tak hanya membuktikan keseriusannya untuk menghidupkan era ketika musik Indonesia di wilayah perkotaan sedang hangat-hangatnya dengan city pop atau musik pop progresif, serta musik dangdut masih berisi lirik yang tak erotis. Benar, musik dangdut dan rock saat itu hadir mewarnai beberapa adegan.
Selain itu, lewat dialog-dialog yang baku, atau tampilan visual tua ala kamera 16 mm lengkap dengan warna sinematik yang grainy. Mungkin, seperti film adaptasi novel lain, yang membedakannya adalah mana adegan dari buku yang mendapat porsi layar dan mana yang hanya jadi narasi lisan. Namun film ini telah menghayati filosofi pembayaran dendam dan rindu dengan berbagai dimensi, tanpa terlalu hanyut dalam bentuk protes maupun ceramah.Â
Alur cerita dan karakter-karakter yang dibakar oleh dendam dan rindu, dengan nama-nama khas yang menimbulkan nostalgia (nama Paman Gembul, Iteung, dan Budi Baik, tentu mewakili sebuah suasana, kesan, dan daerah tertentu). Mereka jenis karakter yang sama sekali tak klise, mereka justru tak pernah ditampilkan dalam film-film lama kita. Manusiawi, berhasrat, dan berego, tanpa harus berpura-pura terlihat baik dan bermoral.
Juga tempat kelahiran dari dendam dan rindu yang dekat dengan keseharian, serta entitas misterius yang menuntaskan dendam dan rindu. Keseluruhannya disajikan dengan estetika dan urutan yang komprehensif sehingga mudah dipahami dan menarik diikuti, meski tak mudah dicerna. Bagi yang paham berbagai suasana daerah yang ditampilkan, (misalnya Bojongsoang maupun Padalarang yang saya pribadi kenali) mungkin cukup membangkitkan senyum saat menyaksikan adegan di wilayah-wilayah yang akrab di mata tersebut.
Ajo Kawir dan Iteung yang sama-sama memiliki dendam dan trauma dari masa lalu, bertemu dan jauh cinta dalam sebuah perkelahian. Dalam keremangan malam di antara lampu-lampu warung tepi jalan, para supir truk juga berkelahi.