Coba perhatikan, di antara lalu-lalang iklan yang kita temui di media sosial atau aplikasi ponsel lain setiap hari, sebagian adalah iklan game online. Mereka sengaja menyajikan skenario drama atau teka-teki  bernuansa ‘nakal’ atau berlebihan. Tapi ujungnya bikin penasaran. Misalnya saja, sebagai mafia kelas teri, Anda pilih menyelamatkan, atau menyingkirkan bos untuk naik pangkat? Atau, saat memergoki pasangan berselingkuh, mending sembunyi atau melabrak langsung?
Maklum saja, iklan-iklan tersebut memang bertujuan memancing orang agar tertarik mengunduh game-nya. Meskipun seringkali iklan itu tidak nyambung dengan isi game yang sebenarnya.
Konon selama pandemi ini jumlah pemain game online meningkat. Selain karena iklan, mungkin orang-orang kini lebih tertarik bermain game online karena mudah dijangkau. Meskipun demikian, game online sebenarnya dirancang jadi jebakan yang tidak mudah diselesaikan. Mereka yang sudah berpengalaman bermain pasti merasakan hal yang sama. Bahwa untuk menyelesaikan berbagai misi, pengembang game sudah mengatur agar pemain membutuhkan berbagai item. Tanpa semua itu, perkembangan akan terasa lambat, bahkan misi gagal dituntaskan dan jadi mengesalkan.
Karena itulah, bermain game sudah tidak lagi relevan jika dianggap sebagai hiburan serba gratis. Kebanyakan game online prinsipnya memang free to play alias awalnya bisa diunduh kemudian dimainkan siapapun. Namun mereka memonetisasi rasa ingin menang dan unggul para pemain. Pada prinsipnya, jika ingin menang, maka harus berani membayar harganya. Untuk itulah game menyediakan sistem pay-to-win.
Ketika ribuan pemain rela merogoh kocek demi menjadi yang terdepan, maka dalam game tersebut akan terbentuk hierarki. Pendek kata, bermain game online bersama banyak pemain lain berarti bergabung ke dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu. Mirip dengan dunia nyata, masyarakat buatan ini menjadi tempat pemain untuk mendapatkan peran, reputasi, pengakuan, gengsi, dukungan, dan pencapaian sosial ajaib lain dalam interaksi permainan. Sisi positifnya, game online secara sederhana dapat memberikan asupan rasa bangga, puas, dan heroisme ketika pemain bekerja sama dengan pemain lain dalam menyelesaikan misi atau menyusun strategi.
Demikianlah jika diamati, semua orang masuk ke dunia game memang untuk mencapai sesuatu, atau mempertahankan sesuatu. Â Banyak yang mencari pelarian dari perasaan lelah, kalah, patah hati, gagal, stres, dan mandek di dunia nyata. Dalam game, mereka bisa mendapatkan kemenangan, kegembiraan, dan mempertahankan reputasi yang (bisa jadi) sangat berbeda dari dunia nyata. Demi semua itu, orang rela membeli item, avatar, atau skin game yang mahal. Meski harga barang imajiner nan fana itu ada yang sampai setara cicilan KPR. Ada yang menggunakan uang belanja bulanan, bahkan ngutang.
Pada akhirnya bermain game memang menyangkut investasi waktu dan uang yang tak sedikit. Mungkin ada baiknya kita mengenali seperti apa saja jenis manusia yang seringkali bermunculan dalam dunia game. Mengenali anggota masyarakat pemainnya akan membantu kita memutuskan dengan bijak untuk bermain atau bertahan dalam sebuah game.
Â
1. Whale alias paus
Mereka adalah orang yang membelanjakan uang banyak dalam sebuah game. Mungkin orang yang masuk kategori crazy rich dengan harta keluarga melimpah, anggota keluarga kerajaan asli dari sebuah negara, pengusaha sukses, dan mereka yang berpenghasilan di atas rata-rata. Para paus dalam game biasanya terdeteksi dari statistik yang melampaui normal, level VIP tertinggi, koleksi hero dan item eksklusif yang bikin iri. Mereka tak kenal kata kalah dan biasanya berada  di puncak peringkat.
2. Sponsor
Ternyata ada segelintir gamer yang gemar memberikan dukungan finansial untuk pemain lain. Jika bagi sebagian pemain, membeli item game masuk kategori berfoya-foya, bagi sebagian lagi tak ada yang mustahil.
Alasan mereka melakukan itu, biasanya untuk melakukan pendekatan pribadi kepada pemain lain. Ada pula yang merasa bertanggung jawab sebagai ‘pemimpin’ klan untuk mensponsori anggotanya.
Namun sayangnya rasa aman dan ilusi persahabatan yang terbentuk dalam klan atau aliansi game dapat melonggarkan kewaspadaan. Saya menyaksikan ada beberapa pemain yang tak sungkan memanfaatkan situasi, bahkan berani meminjam uang dari sesama pemain. Banyak yang lupa bahwa semanis apapun perilaku gamers, sebenarnya kita tidak saling mengenal secara pribadi dalam dunia nyata. Seringkali mereka menghilang atau berhenti bermain game, sebelum melunasi hutangnya. Begitulah, tidak ada yang bersifat permanen dalam game. Kawan bisa berubah menjadi musuh kapan saja, demi berbagai kepentingan.
3. Politisi
Ada gamer yang merasa pencapaian tertinggi dalam bermain bukanlah statistik kekuatan ataupun strategi. Melainkan jika berperan menjadi ketua aliansi, atau meraih gelar monarki.
Beberapa gamememang memfasilitasi bonus tertentu untuk posisi demikian. Cukup memberikan peran karena tidak semua orang bisa bertahan dalam kompetisi uang atau skill.
Idealnya, menjadi komandan aliansi dan pemimpin kerajaan berarti harus siap mencurahkan waktu dan tenaga lebih, untuk mengatur koordinasi, mekanisme, dan arah permainan. Selain itu leaders juga harus siap menghadapi berbagai karakter dan potensi konflik.
Sayangnya, para politisi terkadang hanya melimpahkan tanggung jawab kepada anggota tim lain. Mereka belum tentu online ketika dibutuhkan, atau menangani masalah hingga tuntas. Ya mirip lah, dengan politisi betulan di dunia nyata.
4. Ahli strategi
Tipe pemain yang seperti kalkulator hidup. Mereka hafal setiap jurus dan trik, persentase kemenangan, dan peluang keberhasilan. Mereka paham strategi terbaik, jalan tercepat, jurus terampuh, dan kapan waktu terbaik menerapkan strategi. Mereka seringkali mampu mengalahkan spender dan paus karena paham berbagai strategi yang efektif.
5. Mata-mata developer
Pada beberapa kasus, pengembang game bisa bertindak lebih jauh dari sekedar jadi admin game. Seperti digambarkan dalam film Free Guy (2021), misalnya, developer memiliki akun sebagai pemain yang memiliki wewenang tertentu, misalnya mengintervensi pelanggaran.
Ada juga akun pemain khusus yang dikondisikan menjadi role model dan mendapat hak istimewa, misalnya mencoba fitur baru game sebelum diluncurkan. Akun istimewa seperti ini menjadi umpan untuk memikat pemain lain, agar terpacu mengembangkan diri (tentunya diharapkan membelanjakan uang terus). Developer juga kadang merekrut pemain untuk menghidupkan forum dan berbagi strategi. Setiap game bisa memiliki kondisi berbeda, namun pengembang game memiliki cara untuk mendukung suasana permainan agar tetap kondusif sekaligus konsumtif.
6. Ratu/raja drama
Ada beberapa pemain yang sangat serius, seolah apa yang terjadi dalam game benar-benar melibatkan identitas personal dan hidup nyata. Mereka sangat terlarut dengan suasana dan dinamika hubungan buatan dalam game.
Biasanya setelah mengeluarkan banyak uang demi sebuah game, pemain jadi memiliki ekspektasi sangat besar, dan cenderung suka memaksakan keinginan. Mereka menuntut dan mendikte gamer lain agar mengikuti cara mereka. Jika ada yang berbeda atau menentang, mereka merasa itu adalah penghinaan dan kehinaan. Ciri lainnya, raja dan ratu drama doyan membuat kegaduhan, mengubah atau membatalkan kesepakatan bersama, dan betah berdebat lama.
Para pembuat drama ini lupa kalau mustahil bisa menuntut orang lain untuk selalu menerapkan fair play setiap saat. Meski banyak berujung jadi toksik, tapi drama adalah bahan bakar dari dinamika game. Nggak ada drama, nggak rame kan?
7. Pemain Toksik
Biasanya pemain toksik adalah orang-orang nekad, frustasi, dan kurang kerjaan. Mereka gemar memprovokasi dan memancing keributan, maupun mengintimidasi atau mengancam pemain lain. Pokoknya selamat tinggal fair play jika ada tipe pemain toksik.
Adapula gamers dari negara-negara tertentu yang memiliki rasa nasionalisme dan kebanggaan berlebihan. Oknum gamers tipe ini merasa perlu membentuk aliansi eksklusif. Meski ada beragam latar belakang budaya di kalangan penghuni game, oknum gamers yang memiliki fanatisme tinggi sering mengistimewakan orang sebangsanya saja. Mungkin bagi mereka, game online pun harus berlaku seperti olimpiade atau kompetisi internasional betulan.
Untungnya kebanyakan game memiliki fitur block dan mute. Jadi manfaatkanlah fitur itu jika ada untuk meredam serangan beracun yang mengganggu permainan. Jika tidak, mungkin saatnya untuk berhenti main dan mencari game lain.
8. Pencari Cinta
Ini orang-orang yang berharap game memiliki fungsi sama seperti Tinder. Mulai dari yang amatir, berlebihan, hingga berpengalaman. Pemain tipe ini seringkali tebar pesona lewat pesan japri, rayun-rayuan, mengajak berkenalan atau menanyakan akun medsos. Yang sudah ahli berhasil menggaet banyak ‘kekasih’ dalam game. Jika sudah mencapai batas mengganggu batas pribadi, maka memblokir mereka bisa jadi solusi efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H