"Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
    Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
    Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
    Namun kau tetap tabah, hmmm ...",Â
senandungku sore itu. Namun sosok yang muncul dalam ingatanku bukan Ayah seperti yang dimaksud dalam lagu kesayanganku, tetapi sosok Ibu yang selama ini mendampingi aku dalam suka dan duka.
Segera kucari Beliau di ruang keluarga tempat Beliau biasa duduk membaca buku cerita silat kesayangannya. Kuhampiri dan kupeluk Beliau dengan penuh kebahagiaan. Sungguh besar kasih sayang seorang Ibu kepada anak-anaknya dan ini merupakan berkat yang tak ternilai bagi siapapun yang memiliki seorang Ibu yang sangat mencintai anak-anaknya dan rela berkorban demi keluarganya.
Siapa yang menduga bahwa di balik tubuh yang lemah itu terdapat semangat yang luar biasa. Apa saja sepak terjang Beliau sehingga bisa mendapat julukan petarung sejati?
Masih segar dalam ingatanku peristiwa sepuluh tahun yang lalu ketika kedua orang tua kami terpaksa dilarikan ke rumah sakit di suatu senja yang kelam karena sakit parah. Kala itu hujan lebat disertai kilat dan guntur yang bersahutan seolah ikut bersedih atas kejadian yang menimpa kami. Ayah yang sudah dalam keadaan koma terpaksa dimasukkan ke ruang ICU dan Beliau meninggal 3 hari sesudahnya.
Kami sebagai anak-anaknya sangat sedih kehilangan Ayah, tetapi Ibu saya yang sedang dalam kondisi sakit dan tidak mampu memiringkan badannya ke kiri ataupun ke kanan, apalagi untuk berjalan, bisa menerima berita duka ini dengan tabah.
Memang sejak usaha Ayah bangkrut sekitar tahun 80 an, kami sekeluarga, kecuali adik-adik saya yang masih kecil, bekerja keras demi menghidupi keluarga. Kami bersama-sama menanggung suka dan duka. Tetapi justru di saat susah, kami merasakan kebahagiaan karena kami bisa saling mendukung dan saling menyayangi. Ibu selalu setia mendampingi Ayah dengan semangat. Tidak pernah terdengar keluh kesahnya biarpun keuangan kami pas-pasan saja.
Setelah 17 hari diopname di rumah sakit tanpa ada kemajuan yang terlihat, Ibu minta pulang dan menjalani fisioterapi di rumah saja. Di sinilah Ibu menunjukkan bahwa dirinya adalah petarung sejati. Di bawah bimbingan seorang suster yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya, dalam beberapa bulan Ibu berhasil berjalan seperti semula. Benar-benar dibutuhkan semangat yang luar biasa dan kemauan yang keras untuk bisa melewati cobaan yang berat ini. Sungguh sebuah prestasi yang hebat!
Di tahun 2019, ketika saya terkena kanker nasofaring, Â Ibulah yang menguatkan saya dari hari ke hari dan meyakinkan saya bahwa saya bisa sembuh. Semangat Ibu tetap membara dan tak lekang oleh zaman.
Sekarang Ibu sudah berusia 80 tahun, namun Ibu masih mampu membuktikan kehebatannya sebagai petarung sejati melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari seperti membantu kami menyiapkan sayur-sayuran yang akan dimasak, mencuci piring, menjemur pakaian, dan lain-lain.
Selain itu, Ibu juga mempunyai hobi-hobi yang tidak lazim bagi seorang wanita berusia lanjut seperti membaca buku cerita silat, bermain Sudoku, menonton pertandingan sepak bola World Cup 2022 baru-baru ini.
Wajah Ibu jarang bersentuhan dengan kosmetik maupun produk kecantikan, namun bagi kami Ibulah wanita tercantik dalam hidup kami karena kecantikan pribadinya yang terpancar lewat kasih sayangnya kepada keluarganya. Dengan semangat yang tak lekang oleh waktu, Ibu terus berusaha menjadi petarung sejati bagi keluarganya.
Terima kasih, Ibuku sayang. Jasamu takkan kulupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H