Mohon tunggu...
Tania Indra Dwi Safira
Tania Indra Dwi Safira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Tadris IPA

"Bukan ilmu yang seharusnya mendatangimu, tapi kamu yang seharusnya mendatangi ilmu." - Imam Malik Halo everyone!! salam kenal dari saya, Tania Indra Dwi Safira. Fore more, silahkan berkunjung ke my social media account, IG : @taniaids and Tiktok : @taniawgjw. Thank youuu

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Profesi Guru di Persimpangan, Apakah Menegur Siswa Kini Jadi Risiko Hukum?

22 November 2024   22:54 Diperbarui: 22 November 2024   23:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Baru-baru ini dunia pendidikan digemparkan oleh kasus yang menimpa salah seorang guru SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ibu Supriyani, S.Pd., seorang guru SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang ditahan karena diduga telah menganiaya siswa. 

Kasus mencuat setelah Ibu Supriyani, guru di SDN Baito, dilaporkan ke polisi oleh orang tua salah satu siswanya, yang ternyata adalah anggota kepolisian. Peneguran sederhana yang dilakukan Ibu Supriyani dianggap tidak pantas, dan hal ini berujung pada penahanannya. Publik terkejut dan marah mengetahui bahwa seorang guru yang menjalankan tugasnya mendidik justru diperlakukan seperti pelaku kejahatan.

Kasus ini menunjukkan dilema besar yang dihadapi para guru di Indonesia. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mendidik dan menegakkan disiplin demi kebaikan siswa. Di sisi lain, tindakan mendidik yang dilakukan sering kali disalahartikan sebagai bentuk kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak. Ironisnya, ketika orang tua tidak sepakat dengan pendekatan yang diambil guru, alih-alih berdialog, mereka justru melibatkan hukum. 

Kasus ini lantas menimbulkan pertanyaan besar: apakah teguran untuk mendidik kini dianggap sebagai pelanggaran hukum? Padahal, teguran adalah bagian dari proses pembentukan karakter siswa agar mereka memahami konsekuensi dari perilaku yang tidak sesuai norma. Mirisnya, hal ini membuat banyak guru memilih untuk diam dan membiarkan pelanggaran terjadi demi menghindari risiko hukum, yang pada akhirnya merugikan siswa itu sendiri.

Penting untuk disadari bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) memang dirancang untuk melindungi hak-hak anak dari kekerasan fisik maupun psikis. Namun, UU ini sering disalahartikan oleh sebagian orang tua dan siswa untuk melawan otoritas guru. 

Ketidakseimbangan pemahaman ini mengurangi kewibawaan guru di dalam kelas dan melemahkan proses pendidikan. Padahal, mendidik anak tidak hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan disiplin yang membutuhkan tindakan tegas dalam batas yang wajar. Jika guru terus-menerus dihantui ketakutan akan tuntutan hukum, bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan tugas mereka secara maksimal?

Sebagai calon guru IPA, saya memandang bahwa kasus ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga berbahaya bagi masa depan pendidikan. Ketakutan guru untuk menegur atau mendisiplinkan siswa karena ancaman hukum dapat melemahkan otoritas mereka di dalam kelas. 

Pendidikan tidak hanya membutuhkan ilmu, tetapi juga disiplin sebagai fondasi pembentukan karakter siswa. Jika guru terus dirundung ketakutan, siapa lagi yang akan berani mengingatkan siswa tentang benar dan salah? Pendidikan yang baik adalah hasil kolaborasi antara guru, siswa, dan orang tua. Namun, kasus ini justru menunjukkan kesenjangan dalam memahami peran masing-masing pihak.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia masih dianggap kurang peduli terhadap profesionalisme guru, terutama setelah terungkapnya beberapa kasus viral yang melibatkan guru. Kejadian ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi guru, yang seharusnya dihormati dan diberi ruang untuk mendidik siswa dengan tegas. Ketidakpastian hukum yang ada membuat guru menjadi terhambat dalam menjalankan tugas mereka, karena mereka merasa takut akan konsekuensi hukum atau sosial jika melakukan tindakan yang dianggap sebagai teguran atau disiplin.

Selain perlindungan hukum, Pemerintah juga perlu memperbaiki sistem pendidikan yang lebih mendukung profesionalisme guru melalui pelatihan dan pengembangan yang berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat peran masyarakat dan orang tua dalam memahami tugas dan tanggung jawab guru.

 Banyak masyarakat, khususnya orang tua, yang belum sepenuhnya mengerti bahwa tugas guru tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter siswa. 

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengedukasi orang tua dan masyarakat mengenai pentingnya mendukung peran guru dalam mendidik anak-anak mereka. Dengan demikian, jika terjadi teguran atau disiplin, orang tua dan masyarakat bisa memberikan dukungan penuh kepada guru, bukan malah memperburuk keadaan.

Kejadian-kejadian yang terjadi dan viral ini menyoroti betapa pentingnya pendidikan moral dalam membentuk pemahaman tentang peran guru sebagai pengajar dan pembimbing, bukan hanya sebagai penyampai ilmu pengetahuan. Pendidikan moral yang kuat sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa peran guru dihormati dan dipahami dengan baik oleh semua pihak.

Sebagai calon guru IPA, saya menyadari bahwa pendidikan moral memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan siswa, bahkan dalam mata pelajaran yang bersifat ilmiah sekalipun. Pendidikan moral bukan hanya berkaitan dengan nilai-nilai agama atau etika, tetapi juga terkait dengan bagaimana siswa memandang dan mengaplikasikan pengetahuan yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam konteks IPA, misalnya, pemahaman tentang etika ilmiah dan tanggung jawab sosial dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan menjadi sangat relevan. Seorang siswa yang memiliki dasar moral yang kuat akan lebih berhati-hati dalam menyikapi temuan ilmiah dan dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh untuk kebaikan bersama, bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau merusak lingkungan.

Pendidikan moral sangat penting untuk membentuk karakter siswa agar mereka tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas, rasa tanggung jawab, dan empati terhadap orang lain. Pendidikan moral juga penting dalam membangun karakter yang dapat membantu siswa menghadapi tantangan hidup, baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat. 

Misalnya, ketika mereka belajar tentang prinsip-prinsip ilmiah seperti kejujuran dalam eksperimen atau tanggung jawab dalam penggunaan sumber daya alam, mereka diajarkan untuk menghargai proses dan hasil yang dapat dipercaya. 

Siswa yang memiliki moral yang baik akan lebih menghargai pentingnya kolaborasi dan menghormati pendapat orang lain dalam proses pembelajaran. Ini juga membantu mereka menjadi individu yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga menghargai usaha dan proses yang membawa mereka menuju kesuksesan.

Sebagai calon guru IPA, saya ingin berperan aktif dalam mengintegrasikan pendidikan moral ke dalam pembelajaran saya. Saya percaya bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan moral seharusnya berjalan beriringan. 

Dengan demikian, siswa tidak hanya menjadi pintar dalam bidang sains, tetapi juga menjadi pribadi yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri, orang lain, dan lingkungan. Pendidikan moral adalah fondasi yang akan membantu mereka menggunakan pengetahuan yang mereka peroleh untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun