Baru-baru ini dunia pendidikan digemparkan oleh kasus yang menimpa salah seorang guru SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ibu Supriyani, S.Pd., seorang guru SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang ditahan karena diduga telah menganiaya siswa.Â
Kasus mencuat setelah Ibu Supriyani, guru di SDN Baito, dilaporkan ke polisi oleh orang tua salah satu siswanya, yang ternyata adalah anggota kepolisian. Peneguran sederhana yang dilakukan Ibu Supriyani dianggap tidak pantas, dan hal ini berujung pada penahanannya. Publik terkejut dan marah mengetahui bahwa seorang guru yang menjalankan tugasnya mendidik justru diperlakukan seperti pelaku kejahatan.
Kasus ini menunjukkan dilema besar yang dihadapi para guru di Indonesia. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mendidik dan menegakkan disiplin demi kebaikan siswa. Di sisi lain, tindakan mendidik yang dilakukan sering kali disalahartikan sebagai bentuk kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak. Ironisnya, ketika orang tua tidak sepakat dengan pendekatan yang diambil guru, alih-alih berdialog, mereka justru melibatkan hukum.Â
Kasus ini lantas menimbulkan pertanyaan besar: apakah teguran untuk mendidik kini dianggap sebagai pelanggaran hukum? Padahal, teguran adalah bagian dari proses pembentukan karakter siswa agar mereka memahami konsekuensi dari perilaku yang tidak sesuai norma. Mirisnya, hal ini membuat banyak guru memilih untuk diam dan membiarkan pelanggaran terjadi demi menghindari risiko hukum, yang pada akhirnya merugikan siswa itu sendiri.
Penting untuk disadari bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) memang dirancang untuk melindungi hak-hak anak dari kekerasan fisik maupun psikis. Namun, UU ini sering disalahartikan oleh sebagian orang tua dan siswa untuk melawan otoritas guru.Â
Ketidakseimbangan pemahaman ini mengurangi kewibawaan guru di dalam kelas dan melemahkan proses pendidikan. Padahal, mendidik anak tidak hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan disiplin yang membutuhkan tindakan tegas dalam batas yang wajar. Jika guru terus-menerus dihantui ketakutan akan tuntutan hukum, bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan tugas mereka secara maksimal?
Sebagai calon guru IPA, saya memandang bahwa kasus ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga berbahaya bagi masa depan pendidikan. Ketakutan guru untuk menegur atau mendisiplinkan siswa karena ancaman hukum dapat melemahkan otoritas mereka di dalam kelas.Â
Pendidikan tidak hanya membutuhkan ilmu, tetapi juga disiplin sebagai fondasi pembentukan karakter siswa. Jika guru terus dirundung ketakutan, siapa lagi yang akan berani mengingatkan siswa tentang benar dan salah? Pendidikan yang baik adalah hasil kolaborasi antara guru, siswa, dan orang tua. Namun, kasus ini justru menunjukkan kesenjangan dalam memahami peran masing-masing pihak.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia masih dianggap kurang peduli terhadap profesionalisme guru, terutama setelah terungkapnya beberapa kasus viral yang melibatkan guru. Kejadian ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi guru, yang seharusnya dihormati dan diberi ruang untuk mendidik siswa dengan tegas. Ketidakpastian hukum yang ada membuat guru menjadi terhambat dalam menjalankan tugas mereka, karena mereka merasa takut akan konsekuensi hukum atau sosial jika melakukan tindakan yang dianggap sebagai teguran atau disiplin.
Selain perlindungan hukum, Pemerintah juga perlu memperbaiki sistem pendidikan yang lebih mendukung profesionalisme guru melalui pelatihan dan pengembangan yang berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat peran masyarakat dan orang tua dalam memahami tugas dan tanggung jawab guru.
 Banyak masyarakat, khususnya orang tua, yang belum sepenuhnya mengerti bahwa tugas guru tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter siswa.Â