Mohon tunggu...
Tania Adila
Tania Adila Mohon Tunggu... Model - 1999

jurnalis. reporter investigasi wannabe haha aamiin smoga ygy >>>

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Food Estate: Membangun Peternakan Konektivitas Mewujudkan Swasembada Pangan

30 Agustus 2021   12:00 Diperbarui: 30 Agustus 2021   12:10 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4 Peserta diskusi jilid 3 oleh BEM Fapet IPB  (Dokpri)

Food estate dalam perwujudan swasembada pangan tidak perlu lagi membangun satu lahan luas. Dimana ada permukiman, sawah, ternak, orang (petani dan peternak), maka disitu food estate bisa terlaksana. Demikian pemaparan Prof Muladno, pendiri Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) IPB dalam acara webinar pada Minggu (29/08). 

Webinar ini merupakan diskusi kandang jilid 3 oleh BEM Fapet IPB University dengan mengangkat tema “Food Estate: Peran Peternakan dalam Mewujudkan Swasembada Pangan”.

"Peternak skala kecil menguasai 98% populasi ternak sapi. Mereka penentu utama, produsen utama. Sayangnya kebanyakan mereka hanya lulusan SMP, kurang menguasai IPTEK. Sehingga sulit berkembang dan kurang kompetitif," ujar Prof Muladno. 

Ia mengatakan, meski begitu, peternak tetap setia melakukan usaha beternaknya. "Maka ini harus diberdayakan, karena dosen dan mahasiswa tidak bisa beternak," imbuhnya.

Dalam pemaparan materi, Prof Muladno menunjukkan data BPS yang menunjukkan rasio populasi ternak dan jumlah penduduk dari tahun 1945-2018. Miris sekali, dari data tersebut dapat terlihat populasi ternak selama 73 tahun hanya berkembang sebesar 1%.


"Seharusnya perkembangan populasi sapi ini lebih cepat dari manusia (jumlah penduduk). Namun, selama 73 tahun, Indonesia hanya mampu sediakan 5-6 ekor sapi untuk setiap 100 orang per tahunnya. Padahal di DKI-Bodetabek saja saat ini, kebutuhan sapi mencapai 1000 ekor per hari," ungkap Prof Muladno.

Dalam webinar tersebut, ia menegaskan bahwa impor sapi yang terjadi hanya di daerah DKI-Bodetabek, bukan seluruh Indonesia. Maka Prof Muladno berharap,  lahan-lahan milik masyarakat tidak dijual kepada para pelaku industri. Sapi dan ternak lokal yang dipelihara di pemukiman mereka harus diberdayakan. 

Petani dan peternak harusnya dilibatkan langsung. "Mereka harus jadi pemilik utama yang mengolah sendiri lahannya. Bukan lagi penonton. Inilah lokasi food estate di Indonesia. Apalagi di luar Jawa, banyak lahan luas. Perlu juga dibuat lokasi food estate berorientasi industri pertanian berjamaah," tambahnya.

Dalam pemaparannya, Guru Besar Fapet IPB tersebut juga mengatakan bahwa impor tidak selamanya buruk. Misalnya, ia memberi contoh, mengimpor sapi bakalan sebagai penghasil daging dalam negeri. 

Dengan itu, akan banyak tenaga kerja yang berperan. Berbagai lapangan pekerjaan pun terbuka di kandang dan usaha tani penghasil hijauan pakan. 

Ada lagi penghasilan pupuk dari kotoran ternak, serta penghasilan kulit untuk bahan industri. "Begitu pula impor daging sapi sebagai bahan baku olahan, bukan sebagai bahan konsumsi. Maka impor seperti ini bagus, ini impor yang produktif. Justru harus kita dukung," ungkap Prof Muladno.

Berbicara tentang food estate, keberhasilannya adalah buah dari sinergi dan kolaborasi semua pihak yang terlibat. Prof Muladno menilai ada 4 instansi yang harus bergotong royong dalam hal ini. 

1) Pemerintah sebagai regulator untuk semua usaha peternakan dan fasilitator untuk perusahaan kolektif berjamaah. 2) Perguruan tinggi sebagai edukator, inovator, evaluator usaha peternakan sekaligus pendamping perusahaan kolektif berjamaah. 3) Peternak sebagai aktor penyedia produk peternakan. Terakhir, 4) Pebisnis sebagai penggerak ekonomi usaha dan industri peternakan.

Selain itu, Prof Muladno juga memaparkan keberhasilan konsep SPR (Sekolah Peternakan Rakyat) yang dibentuknya. Pada bulan Maret silam, komunitas sosio bisnis Lembu Kartini Sejahtera, Kediri Jawa Timur menyerahkan dana investasi sebesar 200 juta pada SPR Anutapura Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. 

"Komunitas di Kediri ini percaya untuk berinvestasi pada SPR Sulteng, karena ada PT (Perguruan Tinggi), ada IPB yang mendampingi. Kehadiran PT menjadi kepercayaan tersendiri bagi mereka para investor. Inilah contoh edukasi oleh SPR, peternak jadi jago berbisnis," ujarnya.

Gambar 2 Prof Muladno sampaikan materi (29/8). Dokpri
Gambar 2 Prof Muladno sampaikan materi (29/8). Dokpri

Prof Muladno lantas mengungkapkan beberapa keunggulan lainnya dari program SPR oleh IPB tersebut. Diantaranya peningkatan literasi akademik di pedesaan, potensi sebagai lokasi Kampus Merdeka, Merdeka Belajar (KMMB), transfer IPTEK yang lebih mudah, murah, dan lebih cepat. Serta inisiatif dalam menumbuhkan banyak technosociopreneur.

Sampai tahun 2020, ujar Prof Muladno, SASPRI sudah tersebar di 10 Kabupaten (6 Provinsi) di Indonesia, dengan konsentrasi terbanyak di wilayah Jawa Timur. 

Solidaritas Alumni SPR Indonesia (SASPRI) ini terdiri dari 47 SPR IPB, 5 SPR Poltana, 4 SPR Untama, 3 SPR Uniska, Untad-Palu, dan Unisma Malang. Tentu, jumlah ini dapat terus bertambah dan meluas ke daerah lain yang merasa konsep SPR ini cocok dengan peternakan setempat.

Terakhir, Prof Muladno menekankan beberapa poin penting. Dalam mendukung swasembada pangan, sinergi antar peternak, akademisi, birokrat, dan pelaku usaha harus dibangun dan diperkuat. 

Selain itu, peraturan daerah perlu dibuat agar memberi dukungan pada bupati dalam menggerakkan ekonomi daerahnya di bidang peternakan. "Bersatu dan bersinergi antar pihak adalah kunci untuk membangun usaha dan industri peternakan di Indonesia," imbuhnya mengakhiri sesi webinar.

Sesi webinar berikutnya dilanjutkan oleh Ir Maria Nunik sebagai Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH). Aspek utama dan prinsip dasar pengembanagan food estate menjadi bahasan awal. "Aspek hulu-hilir mencakup geospasial seperti hutan atau gambut, air, lahan, infrastruktur wilayah atau desa, serta kelembagaan atau SDM petani. 

Di on-farm ada sarana produksi budidaya, penyuluhan, pendampingan, dan asuransi pertanian. Untuk off-farm melibatkan pascapanen, pengolahan, serta pemasaran," papar Ir Maria Nunik.

Gambar 3 Pemaparan materi oleh Ditjen PKH (Dokpri)
Gambar 3 Pemaparan materi oleh Ditjen PKH (Dokpri)

Ia juga menjelaskan prinsip food estate yang berkelanjutan, integratif, resilien, inklusif, maju dan modern. Agar sustainable maka perlu ada pendekatan lanskap ekosistem dan pertanian konservasi. Integratif artinya diperhatikan dari hulu hingga hilir. 

Resiliensi dengan diversifikasi komoditas serta penguatan cadangan pangan. Inklusif dilakukan dengan korporasi petani dan partisipatif. Serta didalamnya maju dan modern dengan presisi, digitalisasi, dan peningkatan produktivitas.

Dalam penyampaian materi, Ir Maria Nunik juga menunjukkan ketetapan pemerintah terkait food estate. Dimana sumber pembiayaannya berasal dari APBD dan pihak swasta, sesuai Surat Menteri tanggal 26 Maret 2021 No 45/RC.020/M/03/2021 mengenai Tindak Lanjut Pengembangan Food Estate Berbasis Korporasi Petani kepada Seluruh Gubernur. 

Sehingga, untuk food estate Provinsi (FEP) pembiayaannya berasal dari APBN 45%, APBD Provinsi 45% dan swasta 10%. Sedangkan untuk food estate Mandiri (FEM) dari APBN 30%, APBD Provinsi 30%, APBD Kabupaten 30%, dan swasta 10%. Dengan ketentuan, FEP tiap provinsi satu lokasi dan FEM tiap provinsi maksimal 2 kabupaten di luar FEP.

Selain itu, agar swasembada pangan dapat terwujud maka peradaban petani perlu diubah. "Perlu perubahan mindset dan perilaku. Dari bekerja sendiri-sendiri menjadi terkonsolidasi. Dari skala usaha kecil menjadi skala ekonomi. Penerapan teknologi konvensional perlahan-lahan lebih modern dan digital. 

Dari menghasilkan produk primer menjadi produk olahan, dan rekayasa sosial menggerakkan seumberdaya pertanian," jelasnya. Food estate dikelola melalui korporasi petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Harapannya, petani bisa menjadi pebisnis yang berjiwa kewirausahaan.

Contoh keberhasilan food estate di provinsi juga diperlihatkan. Ir Maria Nunik mengungkapkan di Kalimantan Tengah misalnya. Ada peternakan dengan jumlah populasi ayam petelur sejumlah 7.650 ekor. Produksi telurnya mencapai 260-350 butir per kelompok per hari. Telur ini kemudian dijual dengan harga Rp2100/butir. 

Dengan harga segitu, maka potensi pendapatan kotor sudah mencapai Rp16.500.000 per bulannya. Ini menunjukkan potensi yang besar.

Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi berbagai bimbingan teknis (bimtek) pengolahan telur asin. Upaya ini dilakukan untuk mendorong pemasaran telur asin. Pun begitu ikhtiar-ikhtiar bidang peternakan lainnya. 

Pemerintah terus mengupayakan penjaminan ketersediaan stok daging sapi dan ayam untuk pemenuhan konsumsi masyarakat.

Kedepan, harapannya konektivitas peternakan dapat dibangun dan yang sudah berjalan agar tetap dijaga. Konsolidasi harus terjadi. Dengan kepedulian bersama, bukan tidak mungkin food estate akan berhasil, swasembada pangan pun dapat terwujud.  

Gambar 4 Peserta diskusi jilid 3 oleh BEM Fapet IPB  (Dokpri)
Gambar 4 Peserta diskusi jilid 3 oleh BEM Fapet IPB  (Dokpri)

Tania Adila

Resource Person : Prof Muladno, Ir Maria Nunik Sumartini

Keyword :  food estate, IPB University, Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), swasembada pangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun