Di on-farm ada sarana produksi budidaya, penyuluhan, pendampingan, dan asuransi pertanian. Untuk off-farm melibatkan pascapanen, pengolahan, serta pemasaran," papar Ir Maria Nunik.
Ia juga menjelaskan prinsip food estate yang berkelanjutan, integratif, resilien, inklusif, maju dan modern. Agar sustainable maka perlu ada pendekatan lanskap ekosistem dan pertanian konservasi. Integratif artinya diperhatikan dari hulu hingga hilir.Â
Resiliensi dengan diversifikasi komoditas serta penguatan cadangan pangan. Inklusif dilakukan dengan korporasi petani dan partisipatif. Serta didalamnya maju dan modern dengan presisi, digitalisasi, dan peningkatan produktivitas.
Dalam penyampaian materi, Ir Maria Nunik juga menunjukkan ketetapan pemerintah terkait food estate. Dimana sumber pembiayaannya berasal dari APBD dan pihak swasta, sesuai Surat Menteri tanggal 26 Maret 2021 No 45/RC.020/M/03/2021 mengenai Tindak Lanjut Pengembangan Food Estate Berbasis Korporasi Petani kepada Seluruh Gubernur.Â
Sehingga, untuk food estate Provinsi (FEP) pembiayaannya berasal dari APBN 45%, APBD Provinsi 45% dan swasta 10%. Sedangkan untuk food estate Mandiri (FEM) dari APBN 30%, APBD Provinsi 30%, APBD Kabupaten 30%, dan swasta 10%. Dengan ketentuan, FEP tiap provinsi satu lokasi dan FEM tiap provinsi maksimal 2 kabupaten di luar FEP.
Selain itu, agar swasembada pangan dapat terwujud maka peradaban petani perlu diubah. "Perlu perubahan mindset dan perilaku. Dari bekerja sendiri-sendiri menjadi terkonsolidasi. Dari skala usaha kecil menjadi skala ekonomi. Penerapan teknologi konvensional perlahan-lahan lebih modern dan digital.Â
Dari menghasilkan produk primer menjadi produk olahan, dan rekayasa sosial menggerakkan seumberdaya pertanian," jelasnya. Food estate dikelola melalui korporasi petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Harapannya, petani bisa menjadi pebisnis yang berjiwa kewirausahaan.
Contoh keberhasilan food estate di provinsi juga diperlihatkan. Ir Maria Nunik mengungkapkan di Kalimantan Tengah misalnya. Ada peternakan dengan jumlah populasi ayam petelur sejumlah 7.650 ekor. Produksi telurnya mencapai 260-350 butir per kelompok per hari. Telur ini kemudian dijual dengan harga Rp2100/butir.Â
Dengan harga segitu, maka potensi pendapatan kotor sudah mencapai Rp16.500.000 per bulannya. Ini menunjukkan potensi yang besar.
Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi berbagai bimbingan teknis (bimtek) pengolahan telur asin. Upaya ini dilakukan untuk mendorong pemasaran telur asin. Pun begitu ikhtiar-ikhtiar bidang peternakan lainnya.Â