Begitu Anton ceritain latar belakang kedua orangtuanya. Tentang relasi, bahkan jejak berpijaknya secara gamblang, aku maupun Tardjo makin kagum ame Anton.
"Jadi bokap ame nyokap elu Soekarnoisme donk, Ton," tanyaku.
"Iye. Tapi, bukan berarti pengikut Megawati ."
"Lho kok bise. Emang kenape."
"Gue jadi penasaran dan heran. Megawati kan pewaris sekaligus penyambung lidah Soekarno."
"Itu pandangan orang-orang awam. Walau punya hubungan darah, Megawati bukan Soekarno. Karena Bung Karno adalah anak bangsa pada zamannya. Sedang Megawati putri Bung Karno. Paham elu, Man?"
"Enggak, Ton!" Aku sambil menggelengkan kepala.
"Anak asli Bung Karno adalah ajarannya 'Marhaenisme'. Anak Bung Karno ini tidak pernah mati kecuali akhir zaman. Jadi siapapun akan menjadi pewaris Bung Karno sepanjang mampu menjabarkan dan mengaktualisasi 'Marhaenisme secara utuh dan benar."
"Oooh begitu. Berarti Megawati bukan murid sejati, apalagi pewaris tunggal ajaran Bung Karno kalo begitu."
"Nah, elu paham gitu, Man. Ya, kira-kira begitulah."
Usai menengguk wedang jahe, Anton kembali menggambarkan keberadaan sekaligus kiprah partai politik yang lahir di Orde Refornasi. Semua berlomba menghidupkan basis politik yang pernah hidup dan dimatikan di Orde Lama. Juga yang hidup di Orde Baru disukabumikan rezim Orde Baru.
Malu-malu kucing. Basis Masayumi ganti bulu, Partai NU merenkarnasi. Begitupun sejumlah partai politik lainnya, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Suara bedug dan adzan Subuh di surau mulai terdengar. Diskusi kelas Warkop (warung kopi) diakhiri. Kang Kosasih tetap sibuk memasak mie instan dan meladeni pelanggannya yang pesan kopi mix. Aku, Anton, dan Tardjo pamitan ame Kang Kosasih. Lalu, aku bersama Anton bergegas ke masjid untuk menunaikan salat Subuh.