Perdebatan antara Anton dan Tardjo di warung Indo Mie Kang Kosasih di kawasan Jalan Kemiri, Pondok Cabe, itu cukup menarik perhatian. Malah, Kang Kosasih sekali-kali menimpali. Namun, nadanya ngompori. Tentu, diskusi tanpa mengagendakan pokok permasalahan itu tambah panas meski turun hujan cukup deras.
Sambil mengisap rokok, Anton menarik napas panjang. Entah apa maksudnya enggak ada yang tahu, kecuali Anton sendiri. Juga menggeleng-gelengkan kepala.
Anton mulai mengatur nada suaranya agar tidak dicap liar. Menyitir pernyataan pengamat politik. Hampir tidak ada satu pun negara menentang asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun jika satu negara tidak menganut dan mengakomodir asas demokrasi tetap mengklaim dirinya sebagai negara demokratis.
Enggak kenal titik dan koma, Anton bak Guru Besar saat beri kuliah umum kepada mahasiswa. Bahwa pada hakikat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pemilihan umum atau (Pemilu) berkolerasi dengan praktik politik. Secara tidak langsung maupun langsung, asumsi ini menjadi implikasi kehidupan demokrasi dalam menghadapi gagasan, ideologi atau rezim lainnya.
Padahal, cerita Anton, sesungguhnya demokrasi bukan satu tatanan sempurna yang mengatur perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejarah di manapun menunjukkan, bahwa demokrasi menjadi model atau sistem kehidupan bernegara.
Sepanjang masa, gagasan dan rezim demokrasi hadir sebagai 'komoditi' politik. Makanya, praktik demokrasi selalu berkonotasi dengan Pemilu. Tidak heran bila Pemilu diklaim sebagai pesta demokrasi. Bahkan, Pemilu menjadi syarat utama demokrasi.
Tidak ada satu negara mana pun yang menganut asas demokrasi yang tidak melaksanakan Pemilu secara reguler. Untuk itulah, penyelenggaraan Pemilu memerlukan jaminan konstitusional. Sehingga tidak ada pihak yang mencoba-coba untuk mengabaikan atau melupakannya.
Ada kesalahan tafsir seolah Pemilu bagian yang tidak terpisah dari ekspresi perilaku politik masyarakat bebas memilih calon pemimpin. Yang sesungguhnya, Pemilu 'jembatan emas' untuk menjaring, memilih, dan melahirkan pemimpin yang kapabel, akuntabel, serta cerdas.
"Tahu enggak, elu Jo!"
"Pemilu juga sebagai sarana untuk menilai kinerja pemimpin dan menghukum jika kinerja dan kelakuannya buruk. Dus, para pemimpin rakyat yang menjadi anggota badan perwakilan rakyat maupun yang menduduki jabatan pemerintahan, punya tanggung jawab politik dan moral melaksanakan kedaulatan rakyat.
Aku, Tardjo juga pendengar setia lainnya, termasuk Kang Kosasih, heran. Bocah seperti Anton mampu mempunyai wawasan politik seluas itu. Meski terkadang sulit dipahami gara-gara dialek bicaranya, cadel, mau tidak mau, pandangan politik Anton patut diacungi jempol.
"Ton, elu dapet dari mane ilmu politik sedahsyat itu?" aku bertanya kepada Anton tanpa malu.
Harus diakui sahabatku ini memang memahami dan punya kemampuan membaca konstelasi politik nasional meski sebagai pemilih pemula. Betapa tidak hebat, Anton bisa tahu jejak berpijak partai politik peserta Pemilu lima tahun lalu. Emang semula teman-teman sepelekan dan mengecap Anton sebagai 'Mister You Know" (Baca: Mister Sok Tahu).