[caption id="attachment_302004" align="alignnone" width="650" caption="Usia 17 Tahun"][/caption]
Detaktangsel.com - SEKETIKA menginjak usia 17 tahun, Anton, teman sepermainanku merasa bangga setengah mati bisa menggunakan hak politiknya untuk kali pertama pada Pemilu Legislatif dan Presiden, lima tahu lalu. Dirinya merasa dewasa punya hak memilih, dipilih, dan pantas ikut nimbrung (baca, ngumpul) diskusikan isu carut marut perpolitikan nasional.
Tanpa mewakili partai politik mana pun. Tanpa menggantongi visi dan misi ideologi apa pun dan kelompok kritis satu pun, Anton berbicara bebas dan blak-blakan. Hantam 'kromo' semua garis perjuangan peserta Pemilu saat itu.
Anton tidak pandang bulu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, PPP maupun PKB. Tidak luput pula Partai Keadilan Sejahtera. Semua dicap pembohong. Semua partai politik peserta Pemilu 2014 dianggap cuma bisa ngecap, cuap-cuap atawa membual.
Aku tercengang kenapa sikap dan pemiliran Anton kok liar terhadap kiprah partai politik. Padahal dia termasuk anak bawang, anak masih bau kencur menggeluti sepak terjang partai politik, termasuk dalam mengapresiasi perilaku politik kalangan elit politik "Sok tahu elu, ton," tegur Tjahjo.
"Hati-hati ngomong. Jangan main tuding, apalagi seenak hati aja nilai orang. Fitnah lho, nanti elu diciduk polisi. Dikira provokasi," Tardjo mengingatkan.
Merasa disalahkan, Anton tidak tinggal diam. Putra bungsu mantan petinggi Partai Nasional Indonesia di masa Orde Lama pimpinan Bung Karno ini nyerocos. Agar tidak dianggap provokator, Anton mendekati Tardjo.
"Kamu yang sok tahu, Jo. Biar baru direkomendasi oleh amanat konstitusi untuk menggunakan hak politik untuk ikut nyoblos, gue kagak bodoh-bodoh amat soal konstelasi politik nasional."
Kayak udah pengalaman, Anton menuangkan pemikirannya sangat liar.
"Kalo gue menilai sejumlah elit Partai Golkar bobrok, bukan berarti menjelek-jelekkan. Bukan mendiskreditkan. Gue ngomong apa adanya. Asal tahu aja kamu, Jo. Bukan jadi rahasia bahwa Partai Golkar itu warisan rezim Orde Baru, Soeharto. Meski berubah paradigma seperti dideklarasikan semasa Akbar Tandjung, Golkar tetap Golkar. Ibarat monyet biar berdasi tetap monyet."
"Gue kagak ngerti. Pemikiran elu makin gila. Coba kasih analogi yang masuk akal. Tidak usah bawa-bawa monyet segala."