Oleh D F LOLO
“Rakyat harus segera bersatu karena pemerintah saat ini terbukti gagal. Rakyat harus mengantisipasi darurat negara dan membentuk pemerintahan sementara.”
Petikan berita di atas di ambil dari sebuah situs berita online Nasional. Menerut pemberitaan tersebut pernyataan itu muncul dalam sebuah diskusi pada pada Minggu (16/10/2011) di sebuah kafe di Jakarta. Tak hanya itu, diskusi tersebut dikabarkan menghadirkan beberapa narasumber dari kalangan mantan aktivis, politisi dan purnawirawan TNI. Belakangan, rumor “membentuk pemerintahan sementara” menjadi isu yang mnyebar luas dari mulut ke mulut, pesan singkat SMSm maupun Blackberry Messanger dalam masyarakat yang mengambarkan, bahwa keadaan Negara dalam keadaan darurat.
Terlepas dari mana wacana itu dihembuskan dan apakah rumor itu benar adanya atau hanya manufer politik kelompok kepentingan tertentu, tulisan ini lebih ingin melihat bahwa krisis politik dan sikap Militer adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam Negara yang memiliki trauma sejarah masa lalu dengan rezim kekuasaan yang dipimpin militer. Dimana penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM kerap terjadi.
Menilik sejarah dekade perang dingin antara blok barat dan timur, saat itu memaksa ke dua blok yang terus bersiteru ini berupaya mencari simpati negara-negara lain untuk menjadi sekutunya. Bagaimana sikap Negara yang kekuasaanya dipimpin oleh rezim militer? Faktanya menunjukan, negara-negara yang tidak berafiliasi dengan ke dua blok tersebut mayoritas dipimpin oleh rezim militer seperti di Amerika latin dan Asia khusunya Indonesia. Pendekatan teori korporatisme Negara dan otoritarianisme birokratik sering digunakan untuk menganalisa cara dan sistem sebuah rezim militer menjalankan dan mengkontrol kekuasaanya. Bagaimana dengan tradisi krisis politik dan sikap militer di Indonesia?
Nalar “Ksatria” di tubuh Militer
Secara singkat bisa kita lihat model krisis politik yang melibatkan militer di Indonesia dari masa ke masa mempunyai tadisi berbeda dengan misalanya yang terjadi di Thailand dan Filiphina yang kerap kali melakukan aksi kudeta secara terbuka jika terjadi krisis politik di Negaranya.
Tercatat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mulai mmelakukan pembenahan kedalam polemik politik yang melibatkan militer yang di mulai Pada tahun 1948. Hatta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia mengajukan usul untuk mengadakan Reorganisasi dan Rasionalisasi Sundhaussen (1988: 63-64) serta membangun kembali angkatan bersenjata dan seluruh aparat Negara. Keputusan ini melahirkan ketidakpuasan di kalangan tentara yang pada akhirnya memberi peran besar pada krisis politik saat itu.
Kasus Darul Islam (DI) bisa menjadi gambaran apik kondisi krisi politik dan sikap militer di Indonesia. Saat itu adalah Sekar Marijan Kartosuwiryo yang mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia yang pada gilirannya gerakan ini meyebar luas ke beberapa daerah di Indonesia.
Salah satu konflik besar yang melibatkan militer adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dimana krisis politik tersebut membuat militer terpecah dan meyeret militer masuk dalam politik, buntut dari krisis politik ini melahirkan Pergolakan yang cukup lama yang tetap melibatkan militer sebagai aktor utama dengan berdirinya PRRI dan PERMESTA karena dipicu oleh kesenjangan yang mencolok antara pusat dan daerah.
Pergolakan politik militer dan kekuasaan diatas, terlihat dominan terjadi karena dinamika internal tentara yang dinamis, hasrat politik militer juga sangat dipengaruhi sebuah konsep dasar yang secara sadar maupun alam bawah sadar menyebut dirinya sebagai Ksatria, dimana militer akan mengambil peran pengamanan dan penyelamatan jika terjadi krisis politik.
Pasang surut dan polemik hubungan sipil-militer dan kekuasaan di Indonesia pasca kemerdekaan berubah drastis setelah peristiwa supersemar dimana militer mutlak berkuasa di Indonesia dengan Dwi fungsi ABRI menjadi aparatus idiologinya.
Purna Orde Baru
Menjelang purna Orde Baru krisis dan gejolak terus berlangsung, ktisisme ataupun protes dan gerakan menetang Orde Baru lebih dominan diwarnai oleh gerakan Mahasiswa. Demonstrasi Mahasiswa secara sporadis terjadi di Indonesia.sampai pada pertengahan tahun 1997 dimana krisis moneter menimpa kawasan dimulai dari Thailand, Korsel dan akhirnya sampai ke Indonesia menjadi sebuah akumulasi krisis dari Ekonomi ke krisis Politik yang diikuti akumulasi gerakan anti Orde Baru yang akhirnya berhasil meruntuhkan Rezim militer Soeharto.
Seperti kita ketahui saat itu sebelum Soeharto jatuh juga beredar rumor bahwa mileter melalui Panglima tertinggi Wiranto akan mengambil alih kekuasaan untuk menenangkan situasi dikarenakan Presiden Soeharto saat itu sedang berada di luar Negeri. Namun dalam faktanya hal tersebut kemudian tidak terjadi.
Periode Reformasi kemudian memilih K.H Abdurahman Wahid-Megawati sebagai presiden dan wakil presiden melalui voting di parlemen. Periode ini adalah babak baru bagi sejarah nasional Indonesia, sebuah periode yang juga tidak kalah dramatiknya karena transisi demokrasi tengah berlangsung di Indonesia. Seperti kita ketahui kerusuhan demi kerusuhan banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Keputusan spektakuler yang diambil dalam priode ini adalah pemisahan TNI dan POLRI, seperti diketahui bahwa Abdurahman Wahid tak segan-segan tunjuk hidung bahwa Militer bermain di setiap kerusuhan yang ada, lebih-lebih ketika menyeruak kerusahan dan Isu Ninja di Jawa Timur, sebuah tudingan yang membuat Militer gerah dan kebakaran jenggot. Militer pun dianggap sebagai pihak yang tidak bisa menerima upaya reformis karena peranya yang semakin ciut dan secara kelembagaan posisinya tidak dibawah presiden melaikan kementrian yang dipimpin oleh sipil.
Krisis politik di era transisi Demokrasi membawa KH Abdurahman Wahid beakhirnya berakhir di sidang Istimewa MPR yang berujung lengsernya Presiden pertama di Era reformasi tersebut.
Sisa periode dilanjutkan
Dinamika politik terus berlanjut ke Megawati sampai akhirnya SBY yang menjadi presiden pada tahun 2004 sampai sekarang. Yang menarik adalah seperti melihat cermin sejarah bahwa SBY yang notabenenya adalah Purnawirawan TNI, menjadi presiden di Era Reformasi dimana salah satu tantangan terberat dalam mengawal proses transisi adalah mereformasi intitusi TNI itu sendiri. Sungguh hal yang tak mudah pasti, karena di satu sisi SBY dibesarkan di Era Orde Baru di mana masa tersebut adalah masa-masa kejayaan TNI yang berperan besar dalam percaturan politik Nasional.
Apa yang terjadi hari ini? Salah satu hasil survey Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bertajuk “Pemilih Mengambang dan Prospek Perubahan kekuatan Partai Politik”, (29/5/2011) menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat kepada TNI sebesar 83,9 persen, disusul Presiden 74,2 persen dan polisi 63,5 persen, di posisi keempat ada pengadilan 54,7 persen, DPR 58,8 persen dan terakhir Parpol 41,9 persen. Percaya atau tidak, hasil survei tersebut memberikan gambaran bahwa TNI lah satu-satunya institusi dibawah pemerintah yang berhasil melakukan reformasi lebih cepat dan lebih baik.
Kembali ke berita yang menyebut para Jenderal Purnawirawan mewacanakan SBY-Boediono untuk mundur guna menghindari Chaos, pertanyaanya adalah apakah kita akan menafikan semua proses Reformasi yang sudah terbangun selama ini? Apakah situasi hari ini betul-betul krisis seperti situasi menjelang kejatuhan Soeharto? Mecoba menjawab pertanyaan di atas, tampaknya masih ada cara yang lebih pas dan elegan dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah ketimbang menyebar rumor yang meresahkan di masyarakat. Alangkah lebih baiknya jika kritik tersebut disampaikan dengan cara yang lebih baik dalam budaya yang demokratis, dengan menyalurkan atau menyampaikan semua kritik dan harapan melalui saluran-saluran politik yang
sebagaimana ada kebebasan berkumpul dan berpendapat juga berserikat di akui dan dilindungi oleh negara.
Catatan kritis yang menjadi bahan refleksi bersama adalah jika dulu krisis politik yang lahir dari polemik hubungan sipil-militer di kekuasaan menyebabkan militer melakukan manuver politik, dan manuver politik ini selalu dilakukan oleh tentara aktif, sementara fenomena hari ini mempunyai kecendrungan dilakukan oleh segelintir Jenderal Purnawiraan TNI. Hampir tidak ditemukan sebuah gerakan atau manuver militer aktif secara terbuka di era reformasi ini, walau pernah ada sebelumnya kritik terbuka kepada SBY dilakukan Kolonel Penerbang Adji melalui tulisannya yang dimuat pada rubrik Opini di Harian Kompas edisi Senin 6 September 2010. Dan menanggapi kritik demokratis tersebut sikap rezim yang berkuasa hari ini, hanya diam. Terlepas dari kediaman SBY dan polemik sikap militer, bagaimana pun transisi demokrasi pasca reformasi lebih baik di jaga ketimbang dihancurkan melalui kudeta.***
D F Lolo, adalah pemerhati masalah sosial politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H