Mohon tunggu...
Riri Tangahu
Riri Tangahu Mohon Tunggu... dosen -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Takdir Terakhir

20 Februari 2017   08:46 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:47 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: curiousmindatlarge.weebly.com

                                                                                                                   

Harusnya, hari ini bisa jadi hari yang paling sempurna. Bagaimana tidak, launching novel pertamaku dijadwalkan hari ini. Setelah menunggu hampir tujuh tahun, akhirnya bisa menyaksikan karyaku dijejerkan dengan karya-karya penulis novel best seller. Tidak tanggung-tanggung, diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor yang reputasinya sudah tak perlu dipertanyakan lagi. 

Demi hari ini, segala sesuatunya kupersiapkan dengan matang. Mulai dari memilih kostum yang sesuai, hingga pesan pena khusus untuk sesi temu penggemar. Kemarin sore saja, setelah kesibukan UGD rumah sakit, masih menyempatkan menata rambut dan pijat wajah di salon langganan. Kemarin, perasaan bahagia begitu meluap-luap. Beberapa perawat dan rekan sesama dokter, bergantian memberi ucapan selamat. Beberapa dari mereka berjanji untuk hadir di acara launching novelku.

Ya, kemarin semua benar-benar terasa sempurna. Namun semua berubah karena satu email yang tiba-tiba masuk ke inbox gmail ,tepat sebelum aku menarik selimut. Ini sudah pukul sebelas malam. Entah siapa yang mengirim email selarut ini. Setelah melihat pengirimnya dari salah satu panitia launching, aku pun dengan semangat membukanya.

Beberapa detik kemudian, perasaan bahagia yang tadinya meluap-luap, perlahan mulai surut. Email itu berisi informasi tambahan buat acara launching besok. Kalau saja yang menerima email itu bukan aku, tapi penulis yang lain, mungkin akan semakin bahagialah dia. Bagaimana tidak, acaranya akan dihadiri oleh salah satu kandidat calon gubernur, punya banyak prestasi, masih muda, jomblo pula. Tapi tidak denganku. Justru nama yang tertulis di sana, itulah yang menyurutkan semangatku. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini.

***

Ya, sudah tujuh tahun sejak kejadian itu. Kejadian yang menoreh luka. Enam bulan sebelum kejadian tujuh tahun itu, dia datang ke orang tuaku, bermaksud melamar anak mereka satu-satunya yang baru sebulan disumpah sebagai dokter. Tentu saja mereka agak keberatan—anak mereka semata wayang baru saja kembali dari perantauan, menimba ilmu di negeri orang. Sekarang, sudah mau dilamar orang—tentu saja harus siap melepas pergi kembali. Tapi yang namanya orang tua, pasti selalu menginginkan kebahagiaan anaknya. Demi melihat wajah anak mereka yang menyiratkan permohonan izin menyetujui lamaran, akhirnya ibuku angkat suara.

Setelah hening beberapa menit, “Kami tergantung Angel, nak Andre. Kalau Angel sudah oke, kami sebagai orang tua, setuju setuju saja, “ ucap ibuku tenang kemudian menatapku dengan senyum di bibirnya.

“Bagaimana nak?” kali ini ibu menatapku. Aku tahu, ibu hanya berbasa-basi saja menanyakan ini. Melihat senyum malu-malu anak gadisnya, ibu menyikut pelan lengan ayah kemudian memberi isyarat dengan anggukan dan senyuman tipisnya.

“Jadi, kapan kamu kesini dengan keluargamu?” ayah bertanya dengan penuh wibawa.

“Besok Pak, kalau Bapak dan Ibu, serta Angel bersedia, keluarga besar saya akan berkunjung ke sini besok,” Andre menjawab mantap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun