Berita di kompas.com tanggal 8 April 2015 berjudul “Rezim Baru Industri Migas Segera Datang” memuat informasi mengenai rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memisahkan sisi regulasi dan kepentingan bisnis dalam hal pengelolaan industri migas. Program ini sangat wajib kita apresiasi sebagai keinginan pemerintah untuk membuka peluang datangnya ‘energi-energi alternatif’ baru yang dimunculkan oleh berbagai kalangan sebagai tujuan untuk melepaskan diri dari belenggu ketergantungan akan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil.
Marzukie Alie, dalam sebuah kesempatan diskusi mengatakan: “untuk memerangi mafia migas, pemerintah harusnya segera berusaha bagaimana masyarakat segera beralih energi alternatif sehingga pada saatnya BBM tidak perlu lagi disubsidi”. BBM tidak lagi disubsidi, ya. Itulah salah satu tujuan pemerintahan Joko Widodo dengan adanya rencana regulasi migas yang baru.
Energi alternatif sangat diperlukan mengingat bahan bakar dari fosil memiliki keterbatasan jumlah. Apa yang bisa diharapkan anak cucu kita kelak bila energi dari bahan bakar fosil kita habiskan saat ini.
Energi alternatif yang saat ini sudah banyak diketahui masyarakat, contohnya bioethanol dan biogas. Bioethanol secara umum dapat diperoleh dari tanaman pertanian. Tanaman pertanian dapat diperbaharui karena mendapatkan energi dari matahari. Bioethanol diperoleh dari tanaman tebu, ubi jalar, singkong, jagung dan lain-lain. Amerika Serikat dan Brasil adalah negara penghasil ethanol 88% dari total jumlah ethanol yang diproduksi di dunia. Di kedua negara ini, bioethanol dicampurkan ke dalam bensin dengan kadar bervariasi antara 10-25%. Hal ini mampu menghemat penggunaan bahan bakar bensin sehingga bahan bakar bensin tidaklah sangat vital di negara tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia?. Bioethanol di Indonesia sempat booming 8-10 tahun yang lalu. Namun sayangnya, tingginya harga bioethanol menjadi permasalahan sendiri selain teknologi tinggi yang diperlukan untuk memproduksi bioethanol. Masyarakat Indonesia pada umumnya juga tidak terlalu mengenal bioethanol. Namun, hal ini tidak berlaku pada biogas. Karena biogas banyak dikenal di antara sebagian besar masyarakat bahkan masyarakat perkampungan kelas menengah ke bawah. Oleh berbagai LSM baik lokal maupun asing, biogas banyak dijadikan subyek mereka untuk memperkenalkan energi alternatif ini kepada masyarakat luas.
Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan serta limbah domestik. Tidak heran bila penggunaan biogas banyak dilakukan di perkampungan komunal. Biaya pembangunan instalasi biogas banyak didapat dari bantuan LSM baik asing maupun lokal. Namun banyak juga daerah-daerah yang mendapatkan bantuan pemerintah untuk membangun instalasi biogas, contoh daerah yang menjadi sentra industri tertentu misalnya sentra daerah penghasil tahu.
Bayangkan saja, LSM asing saja sangat tertarik untuk mengembangkan biogas di Indonesia. Mengapa pemerintah kita belum banyak tergerak?.
Seperti yang diberitakan dalam kompas.com, pemerintah memiliki kendali atas bagaimana sumber daya migas dieksplorasi dan diproduksi. Namun, pemerintah saat ini hanya terkekang atas jenis migas yang itu saja yaitu minyak dari bahan bakar fosil dan gas alam (LPG). Sudah saatnya dengan adanya regulasi migas yang baru, pemerintah mulai memikirkan pembuatan regulasi atau beleid yang mengatur tentang pengelolaan energi alternatif seperti biogas. Mungkin pemerintah harus membuat paradigma baru mengenai biogas sehingga biogas dapat booming di Indonesia seperti halnya batu akik yang booming akhir-akhir ini hanya karena pemerintah berniat memungut pajak dari barang mewah ini.
Industri hulu migas bertumpu pada eksplorasi dan produksi, termasuk sumber daya manusia, barang dan jasa digunakan dalam kedua proses tersebut. Namun, jika kita bicara migas, yang terbersit di benak hanya minyak fosil dan gas alam. Sudah saatnya, biogas masuk ke dalam keluarga migas Indonesia. Sehingga pemerintah bisa turun tangan dalam hal eksplorasi dan produksi biogas secara massal.
Seperti yang tercantum di website kementerian ESDM, bahan biogas di Indonesia baru dimanfaatkan sebesar 3,25% dari potensi yang ada atau hanya sekitar 1.618 MW dari potensi total sebanyak 49.810 MW. Masih menurut kementerian ESDM, jika potensi biogas di Indonesia dimaksimalkan, maka Indonesia akan mampu menghemat sekitar 700 ribu ton elpiji atau setara dengan 900 juta liter minyak tanah. Saat ini konsumsi elpiji ukuran 3 kg mencapai 3 juta ton per bulan.
Sebuah penelitian di USU Medan (http://repository.usu.ac.id/handle/123456), mendeskripsikan pembangunan pra-rancangan pabrik pembuatan dan pencairan biogas dari limbah cair kelapa sawit. Dari hasil analisis disebutkan, dengan investasi awal sebesar kurang lebih 64 milliar, pabrik tersebut akan Break Even Point pada waktu yang relatif singkat yaitu 2,27 tahun.
Dengan modal investasi yang cukup besar, sangat jelas diperlukan campur tangan pemerintah dalam mengembangkan biogas cair. Apalagi jika teknologi memungkinkan untuk pengembangan tabung biogas, yaitu tabung berisi biogas cair yang mampu menggantikan tabung LPG untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat akan gas alam.
Harapan penulis untuk peningkatan kualitas industri hulu migas adalah bagaimana SKK Migas atau lembaga hulu migas yang lain mulai memasukkan biogas dalam keluarga migas Indonesia. Banyak penelitian tentang biogas telah dilakukan. Banyak praktek pembuatan dan penggunaan biogas telah dibuktikan. Sumber daya manusia untuk pengeloaan biogas sangat banyak serta sumber daya alam untuk pembuatan biogas sangat melimpah. Pemerintah sebagai regulator tinggal membuatkan beleid yang memungkinkan biogas mampu merangkak sedikit demi sedikit menjadi primadona migas di Indonesia. Seperti hanya bioethanol di Amerika Serikat dan Brasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H