Mohon tunggu...
Tanaya Aorora
Tanaya Aorora Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradoks Kapitalisme Pendidikan: Tantangan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat

7 Januari 2024   18:44 Diperbarui: 12 Januari 2024   16:00 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan merupakan hal fundamental dan menjadi ujung tombak dalam pembangunan suatu bangsa. Di berbagai negara, investasi dalam sektor pendidikan dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Hal tersebut juga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Tanpa pendidikan, peradaban akan mati. Karena sejatinya manusia adalah pembelajar tiada henti. Emile Durkheim, seorang sosiolog asal Prancis melihat bahwa pendidikan sebagai suatu proses sosialisasi di mana individu belajar norma-norma dan nilai-nilai di dalam masyarakat. Menurutnya, pendidikan memiliki nilai penting dalam menjaga stabilisasi sosial.

Dewasa ini, pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap dampak-dampak globalisasi pada bidang sosial, politik, dan budaya mengalami fenomena yang dikenal dengan kapitalisasi pendidikan. Di mana pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Kapitalisasi pendidikan merujuk kepada pemahaman bahwa pendidikan dianggap sebagai suatu investasi finansial yang berpotensi memberikan keuntungan ekonomi kepada individu maupun kelompok tertentu. Dalam hal ini, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sebagai peluang investasi yang dapat menghasilkan pengembalian finansial di masa depan.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28C Ayat (1) berbunyi bahwa "setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan manusia" hal tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi seluruh elemen masyarakat. Undang-Undang Dasar tersebut bukan kalimat semata, namun Undang-Undang Dasar ialah sumpah sakral yang memiliki tanggungjawab besar dan harus dipenuhi oleh para pemimpin bangsa. Hal tersebut juga tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat" yang  menjelaskan bahwa tanggungan atas hak-hak pendidikan yang merata merupakan tanggungjawab bagi pemerintah. Namun apakah pendidikan di Indonesia sudah merata, faktanya cita-cita bangsa yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar tersebut masih bertolak belakang. 

Kapitalisme pendidikan merujuk pada situasi di mana unsur-unsur ekonomi dan logika kapitalisme mempengaruhi atau mendominasi sebagaian besar aspek pendidikan. Menurut Henry Giroux (2005), kapitalisme pendidikan mencakup proses komodifikasi pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai barang dagangan. Hal ini mengarah kepada pengaruh besar perusahaan, bisnis, dan logika pasar dalam penentuan tujuan dan nilai pendidikan. Hal ini juga selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh David Harvey. Menurut Harvey (2005), kapitalisme pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kapital. 

Kapitalisasi pendidikan akan menyebabkan kesenjangan akses pendidikan. Biaya pendidikan yang terus meningkat dapat menjadi hambatan bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial. Hal tersebut dapat menyebabkan terbatasnya akses terhadap pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas merupakan salah satu poin penting yang terdapat di dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Poin keempat SDGs adalah menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua pada tahun 2030. Dalam rangka mencapai tujuan kehidupan sehat dan sejahtera pada tahun 2030, maka ditetapkan sepuluh target yang diukur melalui dua puluh tiga indikator. Target-target tersebut terdiri dari menjamin akses terhadap pengasuhan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan kejuruan termasuk universitas yang terjangkau dan berkualitas, menghilangkan disparitas gender dalam pendidikan, membangun dan meningkatkan fasilitas pendidikan yang ramah anak, dan meningkatkan jumlah guru berkualitas.

Melihat hal tersebut, tujuh tahun dari sekarang, betapa banyak "Pekerjaan Rumah" yang perlu dibenahi oleh pemerintah hari ini untuk mewujudkan poin keempat yang terdapat di dalam SGDs. Pasalnya pendidikan di Indonesia belum merata. Melansir dari Viva.co.id, sepanjang tahun ajaran 2022/2023, tercatat 76.834 angka putus sekolah di semua jenjang yang ada di Indonesia. Hal tersebut meliputi siswa putus sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) 40.623 orang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 13.716 orang, Sekolah Menengah Atas (SMA) 10.091 orang dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12.404 orang. Angka-angka tersebut tentunya menuai pertanyaan dan tanda tanya besar. Mengapa hingga hari ini begitu banyak masalah pendidikan yang ada di Indonesia, meskipun anggaran pendidikan yang selalu ditingkatkan dari tahun ke tahun.

Pendidikan di Indonesia telah terjebak ke dalam arus kapitalisasi yang juga dapat disebut dengan komersialisasi pendidikan. Pendidikan yang mahal berakibat pada banyaknya anak-anak yang berada pada kelas ekonomi ke bawah sulit mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Sekolah-sekolah kemudian menerapkan aturan yang memiliki implikasi pada visiologis pendidikan yang salah. Keberhasilan pendidikan pada hari ini hanya didasari pada besarnya jumlah lulusan sekolah yang dapat diserap oleh sektor industri. Asmirawanti dalam (Andrias Harefa, 2005: 151) pendidikan semacam ini tidak untuk menjadikan manusia-manusia melek sosial, padahal sebetulnya tujuan pendidikan untuk mengembangkan intelektual yang ada pada siswa. 

Dalam sistem kapitalisasi pendidikan, kualitas pendidikan kerap kali dihubungkan dengan besarnya investasi finansial yang dilakukan. Lembaga pendidikan swasta yang menawarkan biaya pendidikan yang lebih tinggi dianggap sebagai penyedia layanan pendidikan yang lebih berkualitas. Sementara itu, lembaga pendidikan yang disediakan oleh pemerintah yang lebih terjangkau dianggap memiliki standar yang lebih rendah. Padahal pada kenyataannya, besar finansial yang dikeluarkan tidak menjamin bahwa lembaga sekolah tersebut memiliki pendidikan yang berkualitas. Pendidikan semakin hari menjadi semakin mahal, orang-orang yang bersekolah atau melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi tidak mempermasalahkan hal tersebut. Pendidikan hanya untuk orang-orang yang berada pada kelas atas dan menengah, hal tersebut tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan hak bagi setiap masyarakat.

Kapitalisasi pendidikan dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Pendanaan atau program dari pemerintah yang tidak tepat sasaran membuat individu atau sebagian kelompok untuk melakukan peminjaman untuk pendanaan pendidikan. Hal tersebut juga berpengaruh kepada meningkatnya beban utang pendidikan yang harus dibayar setelah lulus. Hal tersebut dapat membuat tekanan finansial jangka panjang pada lulusan yang dapat menghambat mobilitas sosial. Mengingat terdapat banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dipertimbangkan mulai dari bersekolah atau melanjutkan pendidikan dengan berkuliah, hingga lulus. Dana untuk pendidikan yang sudah dikeluarkan dengan harapan menjadi investasi di masa depan belum tentu semudah ekspetasi. Masyarakat perlu melihat realita yang ada pada hari ini bahwa banyaknya lulusan sarjana yang tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, atau bekerja tidak sesuai dengan peminatannya dahulu. Hal-hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor kapitalisme atau komersialisasi pendidikan. Mindest yang menganggap bahwa semakin mahal pendidikan maka akan semakin berkualitas pendidikannya faktanya bertolak belakang dengan realita yang ada. Anak-anak putus sekolah dan tidak mendapatkan hak pendidikan secara merata. Lalu para pelajar yang harus mengubur mimpinya karena mahalnya biaya untuk melanjutkan kuliah. 

Dalam konteks kapitalisasi pendidikan, pendidikan dianggap sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Hal tersebut membuat orientasi pendidikan yang berfokus kepada keuntungan, bukan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Lembaga pendidikan lebih cenderung menyediakan program-program yang dianggap "populer" atau menguntungkan secara finansial, daripada program-program yang lebih penting untuk kesadaran, pengembangan intelektualitas yang memiliki dampak pada perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun