Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa demokrasi kita telah kebablasan. Menurut dia, demokrasi yang kebablasan itu membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti radikalisme, sektarianisme, terorisme, dan ajaran-ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila.Demokrasi yang kebablasan terjadi karena cara memahami demokrasi yang berlebihan. Seolah-olah atas nama demokrasi setiap orang boleh bicara apa saja dan boleh menentukan apa saja.Â
Padahal demokrasi itu dibatasi oleh nilai-nilai, paling tidak norma, etika, agama, dan hak-hak individu serta kelompok lain. Kemunduran lain adalah munculnya gagasan dalam rancangan undang-undang tentang pemilihan umum yang mengusulkan keanggotaan DPD dipilih oleh DPRD.Â
Jika hal ini terwujud, demokrasi tidak hanya kebablasan atau bahkan mundur, tapi justru merosot. Sebaiknya segera urungkan niat ini dan perbaiki cara memilih anggota DPD, sehingga DPD betul-betul mewakili rakyat di daerah, bukan mewakili kepentingan partisan.
Topik yang sedang hangat diperbincangkan salah satunya adalah tentang pemilu. Beberapa pengamat politik mengungkapkan bahwa isu SARA yang sempat menghiasi pilkada DKI Jakarta 2017 lalu merupakan salah satu contoh kemerosotan demokrasi lainya.Â
Dalam Pemilihan umum seharusnya rakyat bebas menentukan pilihannya sesuai hati nuraninya, namun dalam pelaksanaan nya dalam kampanye dibumbui oleh masalah agama, ras, golongan tertentu sehingga banyak pula rakyat yang tergoyahkan dengan ancaman-ancaman tidak langsung tersebut dan akhirnya tidak mengikuti hati nuraninya dalam menyuarakan pendapatnya.Â
Hal ini tidak lepas dari peran sosial media yang menjadi media untuk menyebarkan isu-isu SARA, ujaran kebencian, serta berita-berita tidak benar atau hoax. Padahal bila sosial media digunakan dengan bijak maka dapat menyebarkan sisi positif dalam pelaksanaan demokras di Indonesia salah satunya dengan kampanye adil untuk menentukan pemimpin yang baik.
Salah satu kasus yang akan saya bahas yaitu mengenai adanya kasus yang mengenai mantan wakil gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal dengan Bapak Ahok.Â
Pada tahun 2016 lalu ia dituduh melakukan penistaan agama, lalu banyak pula beberapa golongan yang melakukan demonstrasi untuk menuntut Ahok agar dipenjarakan dan mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan kebebasan berdemokrasi. Tetapi lagi-lagi demokrasi ini disalah artikan sebagai benar-benar kebebasan tanpa ada batasan-batasan tertentu sehingga jatuhnya lebih ke usaha menjatuhkan pihak-pihak tertentu.
Maka dari itu sebagai masyarakat berpendidikan, sudah sepantasnya kita tidak mengartikan demokrasi sebagai kebebasan berpendapat sebebas-bebasnya tetapi tetap ada batasan-batasan tertentu agar tidak menyinggung pihak-pihak tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H