aku ajak duduk, lalu aku mulai bertanya, kamu tidak sekolah?. itu pertanyaan ku yang paling pertama karena menurutku anak seusia itu harusnya masih sekolah di bangku SMP kelas 1.
dia menjawab, engga bu, tanya ku lagi. kenapa? emak ku ga punya uang. jawabnya.
tanya ku lagi, trus kamu ngapain dirumah. nga ngapa-ngapain cuma main aja. tapi aku ingin bantuin emak cari duit biar kita semua bisa makan. jawabnya.
hati ku miris mendengarnya, aku menahan air mata ku biar tak jatuh didepannya, rasanya sesak dada ku mendengar ceritanya.
kemudian aku persilahkan dia untuk memulai pekerjaannya, dan aku pesan, jangan panggil saya ibu yah panggil aja mba atau teteh, ingat saya tidak menganggap kamu sebagai pembantu, anggap ajah saya kakak mu atau saudaramu. pinta ku.
setelah kejadian itu, saya sering jalan-jalan kekampungnya untuk meliha-lihat kondisi warga disana.
saya kaget melihat masih banyak orang yang tidak mampu disana.
setelah itu aku sering melamun dan berfikir. oh ternyata masih ada orang yang lebih susah dari saya, saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana, bapak hanya supir truk yang tidak menentu penghasilannya, emak seorang amil (tukang mandiin mait). yang tidak boleh mematok bayaran. (desah ku dalam hati).
waktu remaja aku berpikir keluarga ku keluarga susah atau miskin, tapi ternyata ada yang lebih melarat lagi dari keluarga ku,
aku harus bersyukur karna kau masih disekolahkan sampai MAN/sma. orang lain belum tentu bisa sekolah.
setelah melewati kejadian-kejadian tersebut, aku berfikir (seandainya aku punya uang banyak akan kubangun sekolah geratis untuk orang-orang tidak mampu) karna waktu itu belum banyak sekolah yang gratis. baru di jakarta saja. tidak seperti sekarang.