Dia masih terus membaca setiap halaman pada Bab itu dan sesekali tersenyum sendiri, tapi ranting di tanganya terus dia patah sampai terlihat mulai kecil.
"Kau seperti Ave yang selalu dirindukan kota Roma" tulisnya dalam halamn pikirannya.
"Ave tidak begitu kuat, aku ingin lebih anarkis dalam bercinta seperti Emma pada Breckman"
"Ow, itu terlalu ekstrim"
"Mungkin kau perlu membuka surat-surat Marx pada kekasihnya, Jenny. Di suratnya, Marx menulis dengan begitu lihai, bahasanya begitu erotis, menggairahkan"
"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, tak perlu jadi Breckman atau Marx, toh kau tetap mau bersamaku"
Sosok itu hanya tersenyum, tapi sekali lagi, itu dia baca dalam halaman pikirannya sambil bibirnya saling menjepit lalu melebar dan mengerutkan pipi, dia tersenyum sendiri.
Halaman demi halaman dia terus buka, membaca sembari tangannya terus mematahkan ranting kecil-kacil, lalu ketika matahari pecah di atas sana, dia menutup halaman pikiran, mengambil buku di sampingnya, meraih tasnya, membuka tas itu, menenggelamkan buku ke dalamnya, menutup kembali dan berdiri--membuang langkah--lalu berjalan pulang. Entah di halamn berapa, juga Bab yang mana nanti, dia menuliskan ini.
Tanah Beta
Ambon, Penghujung 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI