"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri" (Pramoedya Anta Toer. Bumi Manusia, hal: 59)
Semarak perpolitikan negara ini semakin menampakkan kepelikan, pasalnya: kaum elit tak lagi ambil pusing untuk persoalan barisan tengah dan bawah bahkan yang paling curam dan dalam tak harus dipermasalahkan. Pada akhirnya semua kepala orang-orang hanya melongo begitu saja dengan tertutup mata dan telinga.
Boleh jadi ketakutan sistem penguras tenaga kembali lahir di 2018 ini seperti masa orde baru dengan berbagai orderan pembangunan yang terus membuat negara mengalami kemerosotan berbagai hal mulai dari karakter masyarakat sampai ekonomi.
Rupiah yang mata uang Indonesia itu mengalami kelonjakan luar biasa setelah berkutat di antara 14 ribu rupiah per dolar menjadi 15 rupiah per dolar. Soal itu hanya menjadi mentereng dengan sumringah dijemput kaum elit tanpa melirik kaum melarat. Dari pada dasarnya memang sudah begitu sering terjadi di tanah bekas jajahan lebih dari tiga ratusan tahun lalu.
Lalu dengan menjemput tahun politik, berbagai kepelikan dibuat sebagai mode baru untuk menutupi sebuah kabar tentang rupiah. Sementara acuh tahu sistim semakin menjadi-jadi dengan berbagai lagu terus menggema: entah itu #2019GantiPresidan, atau #2019JokowiDuaPeriode. Sama-sama menjadi lagu untuk "stile" sistim menutupi keterpurukan dalam negara.
Ikhtiar itu tak pernah lahir dari pikiran elit melainkan selalu menjadi buah pikiran aktivis dan orang-orang di baris tengah dan bawah untuk kesejahteraan itu tercipta.
Rupiah yang semakin melonjak membuat mata uang liberal semakin tersenyum tampak dari kaum bebas itu. Lalu untuk apa negara kalau hanya melarat kan masyarakat?
Beta pikir, dari titik balik pengingatan apersepsi tehadap sebuah gerakan pembungan satu sistim yang dibangun secara otoritarian dalam negara majemuk dengan berbagai kekayaan kebudayaan ini. Dan ketakutan akan kegentingan menjadi "hantu-hantu" gentayangan di tiap kepala orang-orang barisan tengah dan bawah. Sementara elit terus memainkan laku di atas panggung penderitaan mereka.
Semua menjadi berubah ketika rupiah tak lagi meyakinkan untuk dipertahankan, lebih baik mata uang kita gantikan, biar tak lagi ada hal-hal serupa, dibiarkan pemerintah tanpa mempertahankan perekonomian atas nama rakyat. Padahal, proklamasi kemerdekaan itu dideklarasikan di sebuah lapangan bebas dengan rerumputan hijau sebagai "spon" pengalas kaki yang terlapisi sepatu itu diserukan atas nama bangsa oleh dua orang yang kala itu jiwa muda berevolusi menggelora Soekarno dan Moh. Hatta.
Mau seperti apa lagi, sistem ekonomi negara sudah menjadi becek (bukan bubur). Yang penuh kenistaan dan kelakuan watak-watak elit, semakin lemah; dan tak ada kata mempertahankan integritas diri dari pasar modal untuk nilai rupiah. Dengan begitu, jangan heran jika Indonesia selalu diremehkan kaum liberal.
Salam!
Ambon, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H