Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya dan Kejanggalan Karena "Papa"

16 November 2017   16:17 Diperbarui: 17 November 2017   16:52 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kejanggalan yang kerap melintasi pikiran dan hati saya. Bukan tentang pribadi saya yang telah sekian lama berkelana mencari dan terus mencari jati diri sebagai pemenuhan sahwat ingin lebih mengetahui sejelas-jelasnya siapa saya sebenarnya---kejanggalan ini lahir dari sebuah lakon yang diperankan seorang pemimpin di negara ini (Indonesia) yang kaya akan segala hal. Sampai pun tak terhitung kekayaan itu, membuat kerakusan orang-orang tak bertanggungjawab dan tak peduli kehidupan orang lain semakin menjadi-jadi.

Semestinya perlu ada ketegasan yang lebih dari pimpinan tertinggi negara ini, dalam hal ini adalah kepala negara dalam memberikan ketegasan agar integritasnya sebagai pemimpin tak ternodai hanya karena mereka yang rakus akan kekayaan semakin mengikis habis tulang-tulang kaum melarat (ploretar) ---masyarakat kecil yang selalu menjadi pengemis ditanah yang kaya akan sumberdaya alamnya--- lalu ketika terciduk ia kemudian melemparkan senyum manis dari balik layar kaca tele visi. Memang sangat aneh!

Sampai kapanpun pemeritah dengan nawacitanya ingin memakmurkan rakyat itu tidak akan tercapai manakala mereka para pencuri berdasi masih terus berada dan beroperasi sesuka hati mereka. Di Korea, pejabat siapapun ketika terciduk merampok uang rakyat, ia akan dihukum mati, di Arab apabila kedapatan hal demikian maka sesuia hukum islam, yang bersangkutan akan kehilangan dan cacak fisik selama hidupnya. Namun, di Indonesia lain lagi ceritanya: yang terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) terkait pengurasan anggaran negara itu malah dibiarkan senyum manis didepan kamera. Memang negara aneh!

Baru-baru ini, seorang pemimpin yang kebanyakan orang menyebutnya "papa" kembali di panggil oleh lembaga anti perampok, komisi pemberantasan korupsi, tepatnya tertanggal 15 November 2017 (Tempo.co: edisi 15 November 2017). Namun papa mangkir dari panggilan dengan berbagai macam alasan. Entah papa sedang lakoni drama apa, yang pastinya ini bukan pertama kali "papa" mangkir; pun bukan pertama kali "papa" dipanggil orang-orang yang sebelumnya pernah menetapkan papa sebagai tersangka walau akhirnya "papa"terlepas jua. 

Tapi, itu tidak lantas membuat mereka yang pernah menangani "papa" merasa cape untuk mengurus masalah "papa", melainkan dengan tingka papa yang demikian lebih menimbulkansahwat mereka untuk kembali merawat "papa".

Saya saat itu sedang asik main internet, dan tidak tahu ada apa lantas mencoba membuka berita dari media yang pernah saya menjadi bagian darinya walau itu hanya sesaat saja---media tempo, dan kaget ketika membaca berita. Entah karena ketinggalan info atau memang "papa" suka mencari sensai baru di jagat media. Berita yang ku baca berjudul "KPK Akan Layangkan Panggilan Kedua untuk Setya Novanto". 

Begitu penasarannya, saya lantas membuka, dan ternyata panggilan pertaman untuk "papa" tidak diindahkan---dan "papa" lebih memilih menghadiri sidang paripurna, lalu ketika ditanya "papa" dengan lantang dan senyum sepoi mangatakan: "saya harus berpidato" (tempo.co).

"papa" ditetapkan sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya tertanggal 10 November 2017, dan ketika dipangil untuk diperiksa pada tanggal 15 November, "papa" malah mangkir dan tak ingin memenuhi panggilan itu. Tidakkah cukup papa bersandiwara? Kenapa? "Papa" seperti takut, kalau "papa" benar ya hadiri panggilan itu saja, gampang kan?

Sebelumnya "papa" melakoni drama yang dimulai tanggal 17 Juli lalu, namun ada saja alasan papa, sangat sakti mandraguna dari panggilan lembaga anti pencuri (KPK) itu. Pementasan berganti pementasan, papa sangat gamblang melakoni karakter yang dimilikinya. Saya rasa papa ini seorang yang sangat mahir dalam memainkan seni drama sebaga apresiasi sastra yang luar biasa menurut saya. 

Namun dengan tingkah demikian, "papa" tak pernah menyadari bahwa ia telah disumpah banyak orang. Saya juga heran, kenapa tidak ada ketegasan dari pimpinan tertinggi negara (Presiden Indonesia)? Apakah tersangkut juga? Entahlah.

Dengan banyaknya karakter yang "papa" mainkan, akhirnya segala tuduhan yang disandarkan terlepas setelah hakim ketua, Cepi Iskandar, mengetuk palu di atas meja hija sebagai tanda "papa" tidak bersalah dan terlepas dari berbagai rudingan dan sangkaan, pada 29 September 2017. Dan itulah kemenangan "papa" saat melakukan gugatan atas KPK. Tapi, kemenangan itu tidak menciptakan senyum sumringah diwajah para jelata, malah mereka lebih menampakkan air muka sini. Wajah yang ditampakkan sangat beralasan:

  • Ketika ditetapkan sebagai tersangka, "papa" mengelak,
  • Dan ketika "papa" dipanggil untuk diperiksa, "papa" terkena penyakit yang sangat disayangkan,
  • Namun ketika hakim Cepi menyatakan "papa" bebas dari dugaan, penyakit papa sembuh secara totalitas dan sangat spontan.

Itulah yang membuat bayak orang tidak lagi kaget dengan mangkirnya "papa"dari panggilan hari kemarin.

Setelah "papa" menolak hadiri panggilan KPK, malamnya penjemputan paksa dilakukan, namun "papa" tidak ada dirumah---Ia raib entah kemana, dan sepertinya KPK sedang menyusun rencan untuk membuat pamflet orang hilang. Hingga saat ini, "papa" belum juga datang memenuhi panggilan. Sempat wakil kepala negara juga berkata : "Papa" sangat tidak memiliki wibawa", itu benar, malah tak ada kebijaksanaannya sebagai pemimpin.

Bagi saya, "papa" sudah seharusnya dilenyapkan dari peradaban, jika tidak! ,aka se,akin melaratlah rakyat Indonesia. Bagaimana negara tidak miskin kalau ada pencuri yang merajalela di dalam sistim pemerintahan?

Untuk itu, saya ingin sampaikan kepada Bapak Jokowi selaku kepala negara, Presiden Republik Indonesia agar segera menindak keras kejahatan luar biasa (Korupsi) ini. Bila perlu buatlah sebuah undang-undang dengan bunyi : apabila ada pejabat negara yang melakukan kajahatan luar biasa (korupsi) maka akan diberi sanksi hukuman mati. Itu yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini.

Semoga "papa" cepat pulang, karena saat ini orang rumah begitu cemas dengan kesehatan "papa", apa lagi kondisi kesehatan "papa" yang kurang baik itu.

"papa", pulanglah!

Terima Kasih Telah Membaca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun