Mohon tunggu...
Mario Tando
Mario Tando Mohon Tunggu... Penulis - Activist

Human Interest

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keluarga: Budi Pekerti (Akar Sebuah Tanaman)

14 November 2017   12:48 Diperbarui: 14 November 2017   13:00 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja ini menjadi kenyataan yang amat berbanding terbalik dengan rakyat Indonesia yang katanya amat berbudaya dan berbudi luhur. Bahkan untuk menemui pemimpin yang mau mengakui kesalahan saja sulit, mereka tetap merasa benar walau bukti-bukti menyatakan mereka bersalah, terlebih rasanya mereka bangga akan hal itu. Jangankan dalam situasi sedang kalut, saat normal saja umumnya rakyat lebih sering berebut, contoh terkecil ialah rebutan kursi di dalam transportasi umum, tak peduli orangtua ataupun ibu hamil berdiri didepan mata, yang terpenting ialah tentang kenyamanan yang dirasakan sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

Siapakah sebenarnya yang harus bertanggungjawab akan hal ini semua? Rasanya semua pihak mempunyai tanggung jawabnya masing-masing, namun tentu saja keluarga layaknya menjadi akar dari tanaman yang akan menghasilkan buahnya masing-masing, jika akar itu kuat, tidak akan goyah walau terkoyak badai sekalipun, tanaman itu akan tetap tumbuh menghasilkan buah-buah yang manis. Tentu saja ada waktunya ia tidak berbuah manis dan bahkan tidak lagi berbuah, begitu juga dengan manusia yang pada dasarnya pasti mempunyai kekurangan, tidak akan dapat menjadi sempurna, dan mempunyai batas waktu.

Keluarga menjadi pondasi utama, karena dengan pendidikan yang baik dan benar di dalam kehidupan keluarga, seorang anak dapat berbakti kepada orangtua. Dengan sikap bakti yang benar tentu saja anak akan menjaga nama baik orangtua dimanapun ia berada dengan perbuatan sikap yang nyata. Karena baik buruk perilaku sang anak, tentu saja orangtua juga akan menanggung beban positif atau negatif dari apa yang dia lakukan. Mereka juga lah yang akan jadi bahan perbincangan, entah kebanggaan atau kemurkaan yang didapat akibat perilaku sang anak. Tentu saja seorang anak yang baik menginginkan orangtuanya bangga akan kehadiran dirinya, bukan hanya sekedar kesuksesan materi, namun dengan kehidupan yang bernilai dan bermanfaat bagi orang banyak.

Orangtua harus benar-benar menjadi akar yang kuat agar sang tanaman tak mudah tumbang, terlebih dapat berbuah manis nantinya. Akar yang buruk tentu saja tidak akan mampu menghasilkan batang yang baik, apalagi untuk menghasilkan buah. Adapun kenyataan badai seringkali siap menerjang, ketika kehidupan diluar saat ini amat lah kejam, jika tak berhati-hati tentu saja anak dapat terjerumus dalam lubang kegelapan. Akar tentu saja tidak seharusnya bekerja sendirian, ia membutuhkan pupuk dan air (peran pemerintah).

Pemerintah sudah seharusnya membantu mengembangkan sang tanaman agar tumbuh dengan baik melalui sistem yang demikian teratur. Sistem pendidikan yang benar tidak mengutamakan sekedar kecerdasan intelegensia semata. Sistem pengembangan sumber daya guru yang memadai, dan sistem jenjang pendidikan yang tidak profit oriented.Jika biaya sekolah, apalagi untuk menjadi dokter itu teramat mahal, tentu saja saat menjadi dokter sungguhan (sebagai manusia normal pada umumnya) ia butuh untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan. 

Maka tidak jarang biaya kesehatan pun menjadi teramat mahal, karena memang tujuannya bukan untuk membantu orang sakit, tetapi untuk mencari keuntungan dan tentu saja mengganti modal yang ia pernah keluarkan selama jenjang pendidikan. Jika demikan, sepertinya tidak ada bedanya dengan seorang politikus di partai politik di masa pemilihan umum, yang sudah menjadi rahasia umum berjuang dengan materi untuk dapat dipilih, dan pada waktunya nanti mereka akan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk mengganti biaya politik yang pernah mereka keluarkan.

Jika nyatanya tak ada pupuk dan air yang cukup, tentu saja sang akar harus terus berjuang dengan sungguh-sungguh menopang sang tanaman untuk dapat tumbuh dan menghasilkan buah-buah yang manis ditengah terpaan angin dan badai yang siap menghadang. Sudah saatnya orangtua benar-benar fokus membimbing sang anak menjadi anak yang cerdas dan berbakti. 

Karena bakti itu ialah sumber dari segala kebaikan. Tidak ada lagi cerita tentang seorang anak yang dijaga oleh baby sitter sepanjang hari tanpa mendapat perhatian dan kasih sayang nyata dari kedua orangtuanya, karena dari situlah sang anak tumbuh, dari perhatian dan kasih sayang yang tulus dan apa adanya bakti itu dapat berkembang. Jika demikan tentu saja harga sang anak tidak lebih mahal daripada sebongkah emas, karena penulis belum pernah mendengar ada orangtua yang menitipkan bongkahan emasnya kepada baby sitter,tentu saja karena ia tidak percaya dan takut kehilangan harta emas tersebut.

Penulis sebenarnya bukan orang yang cukup beruntung secara materi jika dibandingkan dengan para orangtua yang dapat memperkerjakan baby sitter.Penulis harus kehilangan Ayahanda sejak umur 4 tahun karena penyakit leukimia, keadaan itu memaksa Ibunda untuk meneruskan pekerjaan sebagai karyawan swasta. Tentu saja dengan kenyataan itu penulis tidak dapat merasakan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtua. Walaupun sejatinya penulis hidup dari dan oleh keringat Ibunda tercinta, tapi tetap saja penulis kekeringan cinta dan kasih sayang secara langsung dari orangtua. Tapi tentu saja penulis bersyukur dan amat berterimakasih mendapatkan sosok Ibunda yang tetap teguh berjuang sendirian untuk menghidupkan penulis.

Terlebih penulis merasa lebih beruntung, karena penulis dijaga oleh Sang Nenek dan keluarga lainnya yang tentu menjaga penulis bukan karena bayaran, namun karena ketulusan semata. Keadaan di lingkungan keluarga yang rajin memberi pelajaran dan pemahaman spiritual agama dengan sendirinya memaksa penulis untuk memahami tentang pelajaran moral sesungguhnnya dari kehidupan yang ada ketika penulis mulai beranjak dewasa. Oleh karena itu, penulis terus berusaha hidup di jalan yang benar minimal dengan tidak bertindak hal-hal yang dapat membuat orangtua merasa sedih dan murka. 

Tentu saja penulis bukan orang yang sempurna tanpa kesalahan, penulis menyadari banyak sekali kesalahan yang telah diperbuat penulis baik dalam keadaan sadar maupun tak sadar. Namun menurut Konfusius, yang dinamai kesalahan ialah ketika terus mengulang kesalahan tersebut tanpa ingin berusaha memperbaikinya, karena tiada seorangpun manusia yang luput dari kesalahan dan khilafnya. Mudah-mudahan kedepan dapat membuahkan hasil yang semestinya, hidup bernilai dan bermanfaat terhadap keluarga, sesama, bahkan negara, hingga akhirnya dapat terlukis senyuman di raut wajah orangtua dan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun