Mohon tunggu...
Mario Tando
Mario Tando Mohon Tunggu... Penulis - Activist

Human Interest

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Konfusius [Tiongkok Kuno]

18 November 2016   13:49 Diperbarui: 21 Desember 2016   18:00 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kultivasi/ Pembinaan diri menjadi kunci dalam sebuah keberhasilan sebuah Negara. Negara yang besar ialah Negara yang masyarakatnya dapat membina diri mereka sendiri, masyarakat yang memiliki moral, rasa tahu malu, dan pengabdian kepada negeri. Maka dalam ajaran Konfusius, penekanan terhadap pembinaan diri menjadi sebuah kunci dalam setiap keberhasilan seorang individu, tidak terbatas pada siapapun dan apapun status individu tersebut, “Karena dari raja sampai rakyat jelata mempunyai satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri sebagai pokok[The Great Learning/ Da Xue]. Tidak ada perbedaan status manusia dalam hal pembinaan dirinya, masing-masing individu harus dapat senantiasa memeriksa diri, menuntut diri sendiri bukan menuntut orang lain dalam segala hal.

 “Dengan meneliti hakekat tiap perkara dapat cukuplah pengetahuannya; dengan cukup pengetahuannya akan dapatlah mengimankan tekadnya; dengan tekad yang beriman akan dapatlah meluruskan hatinya; dengan hati yang lurus akan dapatlah membina dirinya; dengan diri yang terbina akan dapatlah membereskan rumah tangganya; dengan rumah tangga yang beres akan dapatlah mengatur negerinya; dan dengan negeri yang teratur akan dapat dicapai damai di dunia[The Great Learning/ Da Xue].

Bagaimana orang-orang yang seharusnya akan memimpin negeri ini ialah orang yang telah dengan sangat sadar membina diri, berusaha semaksimal mungkin menutupi kekurangan yang ada. Dimana pembinaan diri itu berasal dari sebuah hati yang lurus. Sedangkan hati yang lurus terbina akibat keinginan tekad yang kuat, dimana tekad yang kuat berasal dari pemahaman akan segala pengetahuan yang ada, pemahaman akan pengetahuan tersebut bisa didapat karena individu tersebut selalu meneliti hakekat tiap perkara, sehingga jelas dan teranglah segala sesuatu yang ada. Individu tersebut benar-benar memahami, bukan sekedar mengerti; menjalankan bukan sekedar mengetahui.

 Dalam The Great Learning/ Da Xue dikatakan, “Adapun yang dikatakan 'damai di dunia itu berpangkal pada teraturnya negara' ialah: Bila para pemimpin dapat hormat kepada yang lanjut usia, niscaya rakyat bangun rasa baktinya; bila para pemimpin dapat merendah diri kepada atasannya, niscaya rakyat bangun rasa rendah hatinya; bila para pemimpin dapat berlaku kasih dan memperhatikan anak yatim piatu, niscaya rakyat tidak mau ketinggalan. Itulah sebabnya seorang Junzi mempunyai Jalan Suci yang bersifat siku”. Pemimpin laksana angin, sedangkan rakyat bagaikan rumput. Kemana angin berhembus, kesana rumput tunduk mengarah.

Maka dari itu pemimpin yang baik akan dicontoh, ditauladani oleh rakyat. Namun jika pemimpin berlaku sebaliknya, maka hal yang terjadi ialah tiada kepercayaan dari rakyat, penolakan dari rakyat itu sendiri. Padahal sebuah hal yang terpenting dalam membangun sebuah Negara ialah ‘kepercayaan rakyat’. Kongzi pernah mengatakan, bahwa didalam sebuah Negara ada 3 mestika yang harus dijaga, yakni makanan, persenjataan, dan kepercayaan rakyat. Bila salah satu harus dilepas, ia rela melepaskan persenjataan. 

Jika dua hal yang harus dilepas ia rela melepas sumber makanan. Tapi ada satu hal yang harus tetap dijaga apapun yang terjadi, ialah sebuah kepercayaan rakyat. Karena dalam sebuah teori kepemimpinan Negara, itulah hal yang paling besar dan mahal tak ternilai harganya. Jika pemimpin tidak mendapatkan sebuah kepercayaan rakyat, jangan harap negeri tersebut dapat teratur harmonis, stabil, dan damai. Karena isi dari sebuah negeri ialah rakyat itu sendiri.  

Hal ini tentu saja tidak dapat dibangun sendirian, bagaimana individu ini dipersiapkan sebaik mungkin melalui pendidikan karakter dalam sebuah keluarga. Budi pekerti menjadi salah satu kunci membangun karakter luhur tersebut. Dimana saat ini kita amat kesulitan mencari sosok pemimpin yang dapat dijadikan suri tauladan. Pemimpin yang dapat dipercaya dan benar-benar dibutuhkan rakyat. Karena sejatinya apa yang dibutuhkan rakyat ialah contoh, sehingga rakyat dapat melihat dan mengikuti bagaimana kepribadian seorang pemimpin.

Negeri ini sepertinya dahaga akan kehadiran sosok kepemimpinan yang sederhana dan bekerja untuk rakyat. Sosok pemimpin yang menyukai apa yang disukai oleh rakyat, yang membenci apa yang dibenci oleh rakyat. Namun mereka tidak akan muncul tiba-tiba, jika kita menginginkan sosok yang demikian, tentu saja ada proses pembentukan karakter yang harus dilalui. Dimana proses yang terbesar ialah proses dalam kehidupan keluarga, dimana budi pekerti menjadi salah satu akar terciptanya pembentukan karakter seorang individu. Keharmonisan dalam keluarga ialah akar daripada keharmonisan negeri. Dengan rumah tangga yang teratur beres akan dapatlah mengatur negerinya; dan dengan negeri yang teratur akan dapat dicapai damai di dunia.

Kita bisa melihat sosok Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional) yang begitu mengutamakan waktunya untuk menciptakan suasana harmonis di dalam keluarga ditengah kesibukan beliau di masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan sebagai seorang Menteri. Walaupun seringkali pulang larut malam, beliau selalu menyempatkan diri untuk dapat berbincang dengan anak dan istri di meja makan. Karena beliau sangat paham, bahwa pendidikan yang utama haruslah dimulai didalam kehidupan keluarganya secara nyata. Dan keharmonisan didalam keluarga itulah yang menjadi modal bagi beliau untuk melangkah mengharmoniskan negeri melalui pendidikan.

Maka dari itu, jika kita menginginkan negeri yang damai, kita harus memiliki pemimpin yang dapat menjadi tauladan rakyat. Mereka yang berhasil membina diri, yang teratur harmonis rumah tangganya. Karena logika sederhananya, tidak mungkin dia dapat mengatur negeri yang terdiri dari jutaan kepala, tapi dia tidak mampu mengurus sekedar istri dan anak-anaknya di dalam kehidupan keluarga. Dengan teratur harmonis keluarganya, baharulah dia memungkinkan mengurus sesuatu hal yang lebih besar, yakni mengurus Negara. “Maka teraturnya negara itu sesungguhnya berpangkal pada keberesan dalam rumah tangga[The Great Learning/ Da Xue].

Hal tersebut diatas menjadi modal utama bagi seorang pemimpin negeri. Untuk selanjutnya, seorang pemimpin haruslah peka terhadap keinginan rakyat, bukan fokus untuk sekedar mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya saja. Pemimpin yang harus dapat menebar kebajikan, bukan mencari keuntungan. Pemerintahan yang baik harus berlandaskan kebajikan, karena kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung. Bila mengabaikan yang pokok dan mengutamakan yang ujung, inilah meneladani rakyat untuk berebut. Maka penimbunan kekayaan itu akan menimbulkan perpecahan diantara rakyat; sebaliknya tersebarnya kekayaan akan dapat menyatukan rakyat [The Great Learning/ Da Xue].

Pemimpin yang baik harus dapat mengutamakan yang pokok, karena pokok yang kacau itu tidak akan pernah menghasilkan penyelesaian yang teratur baik. Karena hal itu seumpana menipiskan benda yang seharusnya tebal dan menebalkan benda yang seharusnya tipis[The Great Learning/ Da Xue]. Para pemimpin yang selanjutnya dapat mengelola kekayaan untuk kemudian dapat mendistribusikannya dengan baik kepada seluruh rakyat, sehingga rakyat dapat makmur sejahtera tanpa pandang bulu, dapat bersatu dan tidak memiliki keinginan akan sebuah perpecahan. Maka negeri yang harmonis, teratur, damai, dan makmur sejahtera harus diawali oleh sosok pemimpinnya. Pemimpin di segala lini yang hadir untuk rakyatnya. Yang jelas bertekad berjuang untuk rakyat bukan untuk pribadi dan kelompoknya. Pemimpin yang rela berkorban untuk kepentingan rakyatnya. Seorang tokoh pahlawan nasional Haji Agus Salim pernah mengeluarkan petuah hidup yang luar biasa untuk seorang pemimpin, yakni “leiden is lijden”; “memimpin adalah menderita; bukan menumpuk harta”.

Hal tersebut diatas laksana sebuah mimpi di siang bolong seorang anak negeri, yang melihat sosok pemimpinnya di negeri tercinta begitu menyukai kemewahan, yang tidak dapat memberikan tauladan bagi rakyatnya, yang tertawa diatas penderitaan rakyat, yang membangun istana ditengah gubuk reot yang masih tersandar di seantero negeri, yang terlalu pintar sehingga seringkali membodohi rakyatnya.

Kehadiran sosok Presiden Joko Widodo dan beberapa pemimpin-pemimpin daerah yang mulai hadir untuk rakyat sebenarnya membawa angin segar untuk rakyat ditengah kegalauan hati para anak bangsa. Revolusi mental digalakkan, semangat pembaharuan digelorakan. Tapi apa yang mereka kerjakan rasanya seolah belum terasakan hingga luas, karena para pemimpin-pemimpin kecil di tempat-tempat tertentu masih amat nyaman untuk hidup hanya memikirkan dirinya sendiri, yang masih begitu hobi untuk mengakali peraturan dan mensiasati anggaran untuk keperluan khalayak. Semoga kesederhanaan, semangat dan etos kerja pemimpin diatas untuk rakyat dapat tertular kedalam hati sanubari mereka-mereka yang berkewenangan di daerah. Karena seorang menteri/ pemimpin daerah sudah sepatutnya mengikuti laju pemimpin diatasnya. Mengabdi kepada pemimpin haruslah berlandaskan kebenaran.

Namun sesungguhnya seorang pemimpin tidak dapat bekerja sendirian, ia butuh kawan yang membantu untuk mengerjakan setiap masalah yang ada. Karena menurut Kongzi, “satu gelas air tak akan mampun memadamkan api segerobak”. Maka seorang pemimpin harus memilih dan memberlakukan orang-orang yang membantunya dengan arif dan bijaksana agar benar-benar dapat menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik, sehingga dapat semaksimal mungkin dapat membantu meringankan pekerjaannya.

Alkisah pernah hidup seorang Kaisar Chuo Wen (wafat 1046 SM), seorang negarawan yang sangat arif dan bijaksana. Negaranya pun menjadi makmur dan sejahtera. Beliau mendapat dukungan yang sangat kuat dari para adipatinya berkat kebijaksanaan yang diterapkan kepada mereka. Ia selalu bersikap santun dan menghormati para menterinya, serta meyakinkan mereka untuk bisa mengembankan tugas dengan sebaik-baiknya. Raja ini selalu memerhatikan kenaikan pangkat dan imbalan atas prestasi para menterinya. Jika menterinya jatuh sakit, raja sendiri yang datang membesuk. Jika ada menterinya yang meninggal dunia, raja pasti menyatakan bela sungkawa yang mendalam, melayat dengan mengenakan rompi yang menyatakan dirinya ikut berduka cita, dan sedikitnya tiga kali mendatangi tempat persemayaman atau rumah duka. Sebelum peti mati ditutup, raja hanya akan mengambil makanan nabati dan pantang minum arak. Istana tak boleh menyelenggarakan pesta sebelum keranda masuk ke liang kubur.

Jika ada menteri yang meninggal dunia bertepatan dengan akan diselenggarakannya satu hari peringatan tertentu, maka perayaan tersebut akan dibatalkan. Karena raja memperlakukan para menterinya sebagai pribadi yang sangat terhormat dan bermartabat, maka para menteri juga akan mengabdi kepada raja dengan segenap jiwa dan raga hingga akhir hayat mereka. Hubungan antara pemimpin dan pembantu harus dapat terjaga dengan baik untuk menunjukkan keseriusan dan konsekuensi pemimpin untuk bekerja demi kepentingan rakyatnya.

Mengzi/ Mencius berkata, “Bila pemimpin berperi Cinta Kasih, niscaya tiada yang tidak berperi Cinta Kasih. Bila pemimpin menjunjung Kebenaran, niscaya tiada yang tidak berlaku Benar. Bila pemimpin berjiwa lurus, niscaya tiada yang tidak lurus. Dengan seorang pemimpin yang berjiwa lurus, seluruh negeri niscaya teratur beres."

Teori diatas sebenarnya juga amat mungkin terjadi jika sistem dan sumber daya manusianya benar-benar memadai. Namun jika kita berkata jujur, hal tersebut belum dapat berlaku seutuhnya di Indonesia dikarenakan sistem politik pemerintahan yang begitu rumit dengan segala kekurangannya. Pemimpin sehebat apapun tidak akan dapat menjadi apa-apa, karena dia sudah barang tentu terperangkap dalam kepentingan kelompok juga. Karena proses menjebak mereka pada keadaan itu. Proses yang sedemikian rupa membutuhkan instrument politik seperti partai, biaya tinggi untuk kampanye memaksa pemimpin pilihan tersebut terperangkap dalam lubang kepentingan pihak-pihak tertentu. Sehingga mau tak mau dia harus mengakomodir pihak-pihak tertentu dengan strategi yang pastinya akan menguras banyak pikiran agar semua keinginannya untuk mensejahterakan rakyat dapat tercapai.

Didalam buku “360 Perinsip Kebijakan Tata Negara Tiongkok Kuno” dikatakan bahwa, “Jika seorang raja memiliki anggapan bahwa orang yang bijaksana adalah mereka yang dipuja oleh banyak orang, dan orang yang tak becus adalah mereka yang dicela atau difitnah oleh orang awam, maka raja hanya akan menunjuk orang-orang yang berkoalisi dalam partai, sementara mereka yang berada di luar koalisi akan terdepak. Dengan demikian mereka yang arif dan bijaksana akan tenggelam, menteri yang setia tersingkir atau dieksekusi, para koruptor yang dengan akal muslihat mereka berhasil merebutkekuasaan dan gelar kehormatan, masyarakat akan bertambah kacau, dan negara menuju ke ambang pintu kemusnahan”.

Inilah yang terjadi dalam sistem pemerintahan kita, bahwa pemimpin terjebak pada kepentingan partai, sehingga mau tidak mau harus mengakomodir semua kepentingan partai jika ingin pemerintahannya berjalan mulus. Hal ini tidak akan menjadi masalah jika partai benar-benar diisi oleh orang-orang benar dan bersih yang memiliki kepentingan untuk rakyat, tapi jika sebaliknya yang terjadi ialah sebuah kehancuran bagi sebuah negeri.

Sebenarnya semua hal itu dapat terjawab dengan pengelolaan sumber daya manusia yang berkarakter, yang memiliki moralitas dan kepribadian positif mengabdi kepada negeri. Dimana segala intrumen kekuasaan, baik partai maupun pemerintah di parlemen sampai dengan hukum (eksekutif, legislatif, yudikatif) diisi oleh orang-orang yang terbina dan teruji, bukan sekedar kualitas intelegensianya semata, tapi juga tentang moralitasnya. Hal itu seharusnya dapat dibentuk melalui pendidikan anak di usia dini. Anak-anak yang hidup harmonis didalam keluarga, mendapatkan bekal pendidikan budi pekerti keluarga yang menjadi fondasi dasar mereka untuk menentukan langkah mereka kemana saja dengan rasa bakti yang besar. Karena dengan rasa bakti yang besar, yang terbangun melalui pendidikan budi pekerti dalam keluarga, mereka akan menjadi sosok yang luar biasa bermanfaat bagi seluruh manusia. Karena sudah barang tentu ia tidak ingin menggores nama baik orangtua mereka melalui perbuatan-perbuatan negatif yang dapat merusak nama baik keluarga. Inilah yang seharusnya ditekankan menjadi dasar utama dalam pembentukan karakter seorang pemimpin negeri. Dia yang mencintai rakyat layaknya keluarga sendiri. Dia yang menyayangi keluarga dengan cara mengasihi rakyatnya.

Bimbinglah mereka dengan kebajikan dan cinta kasih di dalam kehidupan keluarga, karena menurut Konfusius, “Dibimbing dengan undang-undang, dilengkapi dengan hukuman hanya akan membuat rakyat berusaha menghindari hukum, dan kehilangan harga diri dan rasa malu atas kesalahannya. Namun mendidik rakyat dengan etika moral budi pekerti dengan sopan santun, rakyat tidak akan hanya sekedar menaati hukum, tapi dapat merasa malu berbuat jahat”. Laoziberkata, “Hukum Negara yang makin rumit dan mendetail, yang melanggar akan semakin banyak”.

Bangunlah generasi penerus yang dapat diandalkan dengan dasar moralitas yang tinggi, sehingga pada waktunya nanti mereka akan dengan sendirinya bertekad membangun negeri dengan baik. Bentuklah mereka sebanyak-banyaknya untuk menjadi pemimpin yang akan melawan kelompok yang masih berjuang untuk dirinya sendiri. Hentikan budaya korupsi melalui revolusi sumber daya manusia. Sehingga generasi muda tidak terjebak oleh alur budaya korupsi yang telah ditinggalkan para pemimpin kita saat ini. Budaya ‘korupsi sebagai pelumas pembangunan’ merupakan tradisi yang akan membimbing negeri ini menuju kehancuran. Dalam pepatah Tiongkok kuno dikatakan, “Jangan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, seperti melakukan penyogokan, penyuapan, atau memberi upeti”. Jika hal-hal buruk ini bisa dihindari, maka rakyat akan merasa damai dan tenteram. Inilah sebuah tradisi yang baik.

Tujuan tanah air tercinta yang tergambar dalam konsep ideologi Pancasila harusnya benar-benar dapat direalisasikan sehingga benar-benar dapat tercapai kehidupan yang harmonis, stabil, damai, dan makmur sejahtera. Seharusnya keharmonisan dapat dibangun jika semua masyarakat paham dan benar-benar yakin akan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa, inilah yang menjadi pangkal dasar utama yang harus benar-benar dipahami, karena Dia lah kita berbeda, berbeda bukan untuk dibeda-bedakan, namun berbeda untuk saling mengisi dan menyatukan, sehingga setiap orang dapat memahami perbedaan dan menyambutnya dengan penuh penghormatan. Ujung daripada tujuan ideologi Pancasila ialah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada perbedaan kelas, bahwa pemerintah harus benar-benar menjaga seluruh rakyatnya tidak terkecuali.

Semua duda, janda, yatim piatu, orang tua jompo, serta yang sakit parah dan cacat harus mendapatkan santunan dan dirawat dengan baik. Jadi, semua orang bisa bermasyarakat dengan tulus dan baik, tidak ada intrik dan selalu menjaga kerukunan, jangan sampai demi kepentingan pribadi merugikan orang lain, mencuri, merampok, berlaku makar tidak boleh dibiarkan. Inilah dunia berkeadilan yang sejati (Li Ji).

Jika pemerintah dapat benar-benar memahami yang pangkal dan ujung daripada ideologi Pancasila dan benar-benar berusaha menjalankannya dengan baik, bukan tidak mungkin kehidupan di negeri ini dapat benar-benar terasakan suasana yang harmonis, stabil, damai, dan makmur sejahtera. Dan semua rasa itu harus dibangun dari tingkatan terkecil, yakni tuntutan terhadap diri sendiri, kemudian kehidupan keluarga, dan selanjutnya pada kehidupan Negara. Setiap pemimpin yang memiliki kekuasaan tersebut harus memenuhi kriteria tersebut diatas. Kerjasama antara pemimpin dengan rakyat akan menjadikan sebuah Negara itu menjadi kuat. Selanjutnya setiap keluarga yang harmonis akan membantu Negara dalam menciptakan keteraturan sebuah kehidupan pemerintah, sehingga setiap masyarakat dapat terbangun suasana damai. Dengan kedamaian itu kehidupan bernegara dapat berjalan stabil, tidak ada kerusuhan dan ketidakpercayaan, karena hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin dapat berjalan dengan baik. Yang memimpin mengayomi yang dipimpin, yang dipimpin menghormati yang memimpin. Itu semua dapat terbangun jika semua individu, baik yang memimpin maupun yang dipimpin memiliki modal budi pekerti yang benar dalam kehidupan keluarganya, untuk selanjutnya dapat membina diri nya masing-masing untuk dapat meneliti hakikat tiap perkara sehingga dapat berpengetahuan luas.

Konfusius; “Memberikan edukasi kepada rakyat tentang kasih sayang, yang terbaik adalah pendidikan berbasis keluarga, yaitu berbakti, karena kaidah berbakti adalah cinta kasih. Menganjurkan kepada khalayak ramai mengikuti adat istiadat, mengikuti arahan tetua, inilah kode etik dari moral yang santun. Mengharmoniskan hubungan yang memimpin dan dipimpin agar sama-sama menjaga kerukunan, adalah dengan cara harus saling menghormati dan mengikuti tata susila.

Esensial tata susila sebenarnya hanya hormat menghormati. Oleh karena itu hormatilah orang tua mereka, anak-anaknya akan senang. Hormatilah kakak atau tetuanya, maka adik-adiknya akan gembira. Hormatilah raja mereka, para menteri akan tersanjung. Menghormati satu orang, yang merasa bahagia berjuta orang, yang kita hormati meskipun jumlahnya sedikit, tapi banyak orang yang ikut senang. Itulah sebabnya kenapa dianjurkan perilaku berbakti, karena inilah yang hakiki dalam membentuk manusia seutuhnya”. (Xiao Jing)

Kedudukan itu seperti mesin penenun yang menghasilkan etika dan moral. Kekuasaan ibarat roda penggerak menjalankan kebaikan hati. Orang alim kaki menenun, tangan memutar roda tenun, mengujudkan keelokan dan kesempurnaan pendidikan budi pekerti, agar semua unsur kehidupan selaras dan harmonis, hubungan antar manusia pun rukun dan damai. (Zhong Lun dalam Buku 360 Perinsip Kebijakan Tata Negara Tiongkok Kuno)

Maka pada dasarnya pemimpin yang baik ialah ia yang lahir dengan prinsip etika dan moral yang tinggi, menjaga hubungan antara pemimpin dengan rakyat sehingga tercipta keharmonisan dengan didengarnya setiap keinginan dan kebutuhan yang rakyat, yang kemudian direalisasikan oleh pemimpin tersebut. Dengan kekuasaannya ia menuangkan setiap kebijakan yang digunakan untuk menggerakan kebaikan hati setiap orang, sehingga negeri dapat teratur damai karena kebijakan yang stabil, konsisten dan konsekeun untuk kepentingan rakyat. Keharmonisan dan kedamaian itu harus diikuti dengan distribusi keadilan yang merata tanpa pandang bulu, sehingga seluruh rakyat dapat benar-benar merasakan kehadiran pemimpinnya melalui kebijakan yang merata. Sehingga dapat tercipta sebuah keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Tidak ada satu pun kerajaan yang bisa menjaga stabilitas negerinya dari awal hingga akhir, tidak ada rakyat jelata yang takluk untuk selamanya. Jika satu negeri mendapatkan pemimpin yang arif bijaksana, maka negeri tersebut pasti akan aman, makmur, dan sejahtera. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka negeri tersebut akan carut-marut menuju keruntuhan. Inilah hukum alam yang berlaku sejak dulu kala. (Shuo Yuan dalam Buku 360 Perinsip Kebijakan Tata Negara Tiongkok Kuno)

Menurut penulis, negeri yang besar dapat tercipta oleh karena hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang dipimpin. Negeri yang pada pokoknya tercipta dan dihuni oleh mereka-mereka yang memiliki pendidikan moral dan budi pekerti, dimana hal tersebut mengakibatkan mereka memiliki rasa bakti yang besar dan luas makna, sehingga dapat terpancar dengan baik dalam kehidupan mereka masing-masing. Yang memimpin dan yang dipimpin memiliki kewajiban yang sama, yakni menuntut diri mereka masing-masing baharulah dapat tercapai negeri yang harmonis, stabil, damai, dan makmur sejahtera.

Maka dari itu, tidak ada salahnya kita belajar dari segala hal baik yang pernah ada, termasuk ajaran yang pernah ada di Tiongkok Kuno. Karena sejatinya manusia hanya mereplikasi apa yang ada, yang membedakan ialah modifikasi pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam setiap hal, sejatinya tiada yang benar-benar baru. Apa yang terjadi saat ini, khususnya di Indonesia ialah karena pembentukan kualitas sumber daya manusia yang gagal, mereka yang tergambar dalam kenyataan; yang mudah terprovokasi, tidak berfikir luas dan meneliti hakekat tiap perkara, mereka yang bertindak gegabah dan mudah emosi, mereka-mereka yang tidak memiliki visi yang jelas, yang berfikir selalu menyalahkan orang lain tanpa menuntut diri sendiri. Maka dari itu, jika sebuah Bangsa ingin menjadi besar, ia harus rela memfokuskan diri bagaimana membina sumber manusianya agar berkualitas disertai dengan budi pekerti, integritas moral yang tinggi, bukan sekedar intelegensi.

[Mario Tando]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun