Mohon tunggu...
Tammy Siarif
Tammy Siarif Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Pengamat Kesehatan

Saya adalah seorang dokter, dan Manager di Rumah Sakit Swasta di Bandung, juga sebagai dosen di Perguruan Tinggi Kota Bandung. dan sekaligus sebagai pemerhati kesehatan,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Saat Menderita Sakit, Mungkinkah?

4 Oktober 2020   11:39 Diperbarui: 4 Oktober 2020   11:45 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahagia Saat Menderita Sakit - Mungkinkan  ?

(mendalami pemahaman Epicureanisme).

Semua orang pasti mengharapkan kebahagiaan, tapi kapan kebahagian tersebut bisa dirasakan?

Sebagian orang berpendapat: bahagia apabila sudah punya pekerjaan, setelah mendapatkan pekerjaan, pendapatnya lain lagi: bahagia kalau punya motor. 

Ketika sudah bisa membeli motor dari hasil tabungannya, dia berkata lain: bahagia jika punya mobil dan ketika mobil pun bisa didapatkan dari hasil jerih payahnya, masih akan berkata: bahagia jika bisa memiliki rumah dan seterusnya dan seterusnya, sampai entah kapan bisa merasakan kebahagian yang diharapkan.

Jadi sebenarnya kapan merasa bahagia itu ?

Agak sulit untuk menjawabnya, bagaimana jika pertanyaannya dibalik: "kapan manusia merasa tidak bahagia?"  

Barangkali akan lebih mudah untuk menanggapinya. Ternyata sama sulitnya, bahkan mungkin lebih sulit mendapat jawabnya, karena ternyata akan banyak jawab atas pertanyaan tersebut: ketika sendiri, saat lapar, saat sakit, saat tidak bisa membeli baju, ketika harus tinggal dirumah akibat Pandemi, pada beberapa orang ketika keinginannya untuk bisa membeli rumah mewah yang diimpikannya, belum juga terwujud.

Jadi ternyata, keadaan sehat bukan jaminan untuk bisa merasa bahagia, kalau demikian apakah mungkin seseorang yang tengah menderita sakit bisa merasa bahagia ?, barangkali hanya orang yang kurang waras, yang berpendapat bahwa kebahagian juga bisa dirasakan ditengah rasa sakit yang tengah dideritanya, ketika tubuhnya lemah dan harus terbaring dirumah sakit dengan selang-selang infus dan oksigen.

Mari kita belajar dari paham Epicureanisme yang pemikirannya dibangun oleh Epicurus, filsuf yang sepanjang hidupnya mengalami berbagai penyakit, tetapi penyakit yang dirasakan itu  tidak membuatnya patah semangat untuk selalu merasa bahagia.

Melalui ketulusan hati dalam menjalin pertemanan dengan para sahabatnya, Epicurus  mendapatkan kekuatan dan keteguhan untuk bisa merasa bahagia ditengah rasa sakitnya.  

Disaat ahir hidupnya, Epicurus sempat bersurat kepada sahabatnya "pada hari yang sangat membahagiakan dalam hidupku, saat aku berada diambang maut, karena penyakit ini, namun aku merasakan bahagia dalam hatiku ketika mengingat percakapan denganmu".

Baginya kebahagiaan justru dimulai dari dua keyakinan yang bertolak belakang, disatu pihak manusia tidak mungkin merasakan bahagia, ketika dia merasa pegal diseluruh tulangnya, jantung yang berdetak lemah dan napas yang tersengal, akibat kepercayaannya yang dipahami bahwa dia sedang dihukum Tuhan, karena tindakan buruknya, bahkan bayang-bayang kematian itu sangat mengerikan, yang pada ahirnya hanya akan menghasilkan ketakutan dan kecemasan. 

Dipihak lain adalah keyakinannya bahwa pikiran seharusnya mampu untuk menyingkirkan rasa sakit dan ketakutan akan bayang-banyang kematian, melalui ketenangan batin.

Bagi Epicurus rahasia terbesar untuk menciptakan kebahagiaan adalah pada saat manusia mampu menjadi mahluk independen dari hal-hal diluar dirinya. 

Manusia yang bisa merasa cukup puas dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, akan memberikan kepastian bahwa manusia  tidak akan kecewa dan hal itulah sejatinya bibit kebahagiaan itu.

Dan yang sangat luar biasa adalah, ketika Epicurus berujar "hanya ketika rasa sakit muncul, yang dibutuhkan saat itu adalah mencari kebahagiaan, walaupun kebutuhan tersebut akan sulit didapat, bahkan tidak mustahil dapat menghasilkan rasa sakit yang lebih besar. Namun ditengah upaya untuk menghilangkan rasa sakit, manusia perlu dan bisa mengembangkan pikirannya,  bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang akan membebaskan diri dari kekhawatiran."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun