Disaat ahir hidupnya, Epicurus sempat bersurat kepada sahabatnya "pada hari yang sangat membahagiakan dalam hidupku, saat aku berada diambang maut, karena penyakit ini, namun aku merasakan bahagia dalam hatiku ketika mengingat percakapan denganmu".
Baginya kebahagiaan justru dimulai dari dua keyakinan yang bertolak belakang, disatu pihak manusia tidak mungkin merasakan bahagia, ketika dia merasa pegal diseluruh tulangnya, jantung yang berdetak lemah dan napas yang tersengal, akibat kepercayaannya yang dipahami bahwa dia sedang dihukum Tuhan, karena tindakan buruknya, bahkan bayang-bayang kematian itu sangat mengerikan, yang pada ahirnya hanya akan menghasilkan ketakutan dan kecemasan.Â
Dipihak lain adalah keyakinannya bahwa pikiran seharusnya mampu untuk menyingkirkan rasa sakit dan ketakutan akan bayang-banyang kematian, melalui ketenangan batin.
Bagi Epicurus rahasia terbesar untuk menciptakan kebahagiaan adalah pada saat manusia mampu menjadi mahluk independen dari hal-hal diluar dirinya.Â
Manusia yang bisa merasa cukup puas dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, akan memberikan kepastian bahwa manusia  tidak akan kecewa dan hal itulah sejatinya bibit kebahagiaan itu.
Dan yang sangat luar biasa adalah, ketika Epicurus berujar "hanya ketika rasa sakit muncul, yang dibutuhkan saat itu adalah mencari kebahagiaan, walaupun kebutuhan tersebut akan sulit didapat, bahkan tidak mustahil dapat menghasilkan rasa sakit yang lebih besar. Namun ditengah upaya untuk menghilangkan rasa sakit, manusia perlu dan bisa mengembangkan pikirannya,  bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang akan membebaskan diri dari kekhawatiran."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H