Mohon tunggu...
Tammy Elisabeth
Tammy Elisabeth Mohon Tunggu... -

I belong to Jesus and keep smile :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dua Sahabat #cerpen

8 Juli 2011   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setiap hari Sutejo mengayuh sepeda usangnya ke kesekolah. Ibunya tak mampu membelikan sepeda yang lebih bagus dari itu. Ayahnya telah tiada dan sepeda itulah salah satu warisannya yang berharga.

Sepulang sekolah Sutejo menjual es appolo. Ia beroperasi di desa-desa karena di kota terlalu banyak saingannya. Sedang di desa belum ada penjual es macam dia. Lagi pula di desa ia dapat melihat pemandangan alam dan menghirup uara segar. Sore-sore ia pulang dan malamnya belajar sperti biasa.

Pagi itu Beni, teman sekelasnya mendekatinya. Tejo merasa aneh. Tidak biasa Beni, temanya yang kaya itu bebrbicara dengannya. Biasanya ia hanya bergaul dengan anak-anak yang berpakaian bagus saja.

"Jo, nanti join ya ?" katanya kepada Sutejo.

"Join? Apa?" tanya Tejo.

"Eggak tahu join?"

"Tahu sih tahu, tapi join bagaimana yang kau maksud?"

"Ya join biasa. Kerja sama dah, saling menenggang."

"Iya, tapi join dalam hal apa?"

"Alaaah, nanti kita kan ulangan ilmu bumi. Nah, kau beri tahu aku untuk setiap soal yang aku tak tahu!"

Sutejo memang tergolong muridyang pandai di kelasnya, meskipun bukan terpandai.

"Kalau begitu, maaf Ben, kita tidak sebangku," tolak Tejo dengan halus.

"Itu soal mudah. Kau pindah ke bangkuku, beres!"

"lantas, bagaimana Rudi, teman sebangkumu itu ?"

"Suruh pindah. Selesai!"

"Maaf ben, aku lebih suka dibangkuku sendiri!"

"Baiklah, kalau begitu aku yang pindah kebangkumu!"

"Jangan! kasihan Budi, matanyalemah. Ia tidak dapat melihat kalau tidak duduk di depan," jawab Tejo. Budi adalah teman Tejo sebangku. Mereka berdua duduk paling depan. Beni mulai marah mendengar jawaban Tejo itu.

"Jadi, kau enggak mau?" tanyanya tegas.

Sutejo diam.

"Terus-terang saja Jo, engga mau, begitulah! Jadi tak ragu-ragu lagi untuk siapa tinjuku melayang," kata Beni dengan nada mengejek.

"Maaf Ben!" jawab Sutejo.

Tiba-tiba bel berbunyi. Anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Dengan mata menyala Beni mengacungkan tinjunya kepada Tejo. "Awas!" ancamnya.

Sepulang sekolah Sutejo bersepeda bersama dengan Beni dan kawan-kawan lainnya. Sutejo berdebar-debar bila ingat ujar Beni pagi tadi. Dan apa yang ia cemaskan betul-betul terjadi. Sampai ditempat sepi, Tejo di paksa berhenti. Kawan-kawannya tak aa yang membelanya. Sebab ternyata mereka aalah kaki tangan Beni belaka.

Tejo dipaksa ikut mereka masuk lorong kampung yang berliku-liku dan sepi. Sampai di pinggir sungai mereka berhenti. Lalu tinju pun berhamburan menimpa tubuh Tejo. Tejo tak berdaya. Lia orang mengeroyoknya.

Setelah hidung dan bibir Tejo mengeluarkan dan mukanya bengkak-bengkak kebiruan mereka pun jera. Lalu mereka tinggalkan Tejo sambil tertawa kepuasan.

Esoknya mereka berlima tiba di sekolah pagi sekali. Maksud mereka mendahului Tejo. Dengan begitu mereka dapat menyabut kedatangannya dengan hinaan-hinaan yang plaing menyakitkan.

Tapi sampai bel  berbunyi, Tejo belum datang. Dan sampau pulang Tejo tidak pula tiba. Mereka jadi cemas. Jangan-jangan Tejo sakit parah. Sebab, kemarin mereka meninggalkan Tejo terkapar begitu saja. Siapa tahu . . .

Tapi esoknya Tejo masuk sekolah sperti biasa. Hanya mukanya di perban di sana-sini. Anak buah Beni yang sebenarnya tidak berurusan dengan Teji merasa menysal seklai. Mereka sangat sedih bahwa mereka telah membuat sengsara kawanya yang tak berdosa. Satu persatu mereka minta maaf padanya. Lain dengan Beni. Hatinya masih mengkal. Ia mencibir saja.

Melihat keadaan Tejo pak guru menanyainya, tapi Tejo tidak mau berterus-terang. "Ah, enggak apa-apa, Pak. Kemarin dulu saya terjatuh dari sepeda, muka saya membentur batu."

Tapi keempat kawan Beni menceritakan kejadian yang sesungguhnya dengan terus-terang. Dan mereka menyatakan pula penyesalan dan permintaan maafnya. Tapi bagaimanapun mereka tetap dipanggil kepala sekolah.

Ke luar dari kantor guru, mata Beni berapi-api. Dendamnyakepada Tejo makin menyala. Ia mendapat putusan para guru bahwa ia harus meminta maaf pada Tejo dan dicatat sebagai murid yang perlu diawasi ketat.

Sepulang sekolahTejo bersepeda dengan keempat kawannya tadi. Tiba-tiba Beni mengepotnya dengan kecepatan tinggi. Tejo jatuh. Lututnya luka. Beni tertawa-tawa sambil melepas setangnya. Lalu menyilap andong didepannya. Tapi wajahnya jadi pucat. Di muka berdiri raksasa tank dengan gagahnya. Dan ketika sepedanya menabraknya ia sempat melompat. Ia dengar suara jeritan dan gemeretak sepeda di gilas roda mobil. Lalu dunia terasa pusing dan ia pun terlena.

Ketika ia siuman, ia telah berbaring di atas tempat tidur dalam kamar yang asing dan serba putih. Ia mencuim bau yang aneh. Dan tahulah ia bahwa ia berada di rumah sakit.

Selang beberapa hari Beni diperbolehkan pulang, tapi tangannya di gips. Ya, tanganya patah ketika ia terhempas di tanah saaat menabrak mobil itu.

Ketika kawan-kawan dan Pak Guru menengoknya ia tak dapat berbuat apa-apa selain mengucapkan terima kasihnya. Matanya mencari-cari. tapi yang dicari tak ada. Dengan terpaksa ia berkata " Pak, apa Tejo tidak masuk?"

"oh, tidak, tidak! tapi ia titip surat unutkmu. Inilah."

Beni menerima surat itu dan memasukannya ke dalam sakunya. Ketika Pak Guru dan semua kawanya telah pergi dan suasana telah sepi ia membuka dan membacanya.

Kepada Beni, sahabatku!

Bila matamu mencariku diantara kawan-kawan, kau tak kan menemukannya. Bukan karena apa-apa Beni, hanya karena aku tak tega. Kau tahu, Beni, aku mudah terharu sehingga tak bisa berkata-kata dan menahan air mata. Ini yang kucemaskan, Beni, bila aku bertemu denganmu. Dengan perantaraan surat ini kuharap hati kita makin dekat dan persahabatan kita makin erat.

Diantara kita tidak ada apa-apa lagi Beni. Karena bila kau bersalah aku telah memaafkannya dengan ikhlas dan bila aku bersalah kuharap kau sudi memaafkannya pula.

Sekin Beni.

Semoga kau lekas sembuh.

Tuhan beserta kita.

Sahabatmu,

Sutejo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun