Kang, tidak kusangka postinganku menarik perhatianmu. Padahal itu sekedar ungkapan spontan saja. Soalnya, aku sempat bingung mau berbagi hikmah apa dengan rekan-rekan kompasianer. Eh, pagi-pagi sampeyan sudah menanyakan balik pertanyaan yang kuajukan. “Kamu sendiri mau mewariskan apa buat anakmu?”
Aku sempat mikir juga untuk menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba aku teringat dengan uraian Gola Gong tentang budaya baca tulis orang Jepang. Dia menceritakan hal tersebut dalam bukunya yang berisi keprihatinannya tentang budaya masyarakat kita. Di Jepang budaya membaca dan menulis sudah relatif tinggi. Orang berusaha memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca atau menulis. Ketika menunggu kedatangan kereta, banyak orang Jepang yang membaca. Di sela-sela waktu sibuknya, mereka menulis. Apa saja ditulis, kang. Laporan penelitian ilmiah ditulis jadi jurnal. Punya ide cerita ditulis menjadi cerpen. Iseng-iseng menyusun resep baru ditulis jadi buku. Tidak heran jika jumlah toko buku di Jepang lebih banyak daripada di Amerika Serikat.
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Gola Gong merasa budaya baca belum berurat berakar pada kita. Tidak aneh jika perpustakaan umum kekurangan pengunjung. Koleksi bukunya pun jarang bertambah. Memang harga buku sekarang relatif mahal. Namun jika pemerintah berkomitmen untuk terus mencerdaskan kehidupan bangsa, dana tidak lagi menjadi masalah.Nah, dalam masyarakat kita yang dominan justru budaya lisan. Orang betah mengobrol berlama-lama. Topik bahasan pun bisa melompat ke sana ke mari. Budaya lisan ini juga diakomodir oleh media massa. Mereka menggelar sekian banyak talkshow untuk membahas isu terhangat di negeri ini. Sayangnya, beragam pemikiran yang terlontar itu tidak terdokumentasikan. Demikian juga pemikiran-pemikiran yang disampaikan dalam ruang seminar tertutup ber-AC dingin. Sebagian besar ide cemerlang itu menguap hilang. Akibat lebih lanjut, sangat kecil proporsi buku yang dihasilkan orang Indonesia.
“Mengapadibilang kecil? Bukankah ada penerbit yang dalam satu bulan mencetak ratusan judul bahkan ribuan?” Ya, memang benar sanggahan sampeyan. Akan tetapi, berapa jumlah karya yang diterbitkan jika dibandingkan dengan seluruh rakyat indonesia? Sungguh itu rasio yang sangat kecil, kang. Belum lagi jika ditinjau siapa penulisnya. Sebagian besar buku yang terbit itu buku terjemahan, bukan karya orisinal orang kita. Apalagi bila sampeyan melihat topik yang diangkat. Gaya hidup yang lagi ngetrend menjadi kiblat temanya. Dari sini aku berpikir, bahwa nilai buku di pasaran hanyalah sebagai barang dagangan. Buku belum menjadi sarana untuk mengajak pembaca menggali dan mengoptimalkan potensi dirinya.
“Sori, omonganmu yang berputar-putar itu belum menjawab pertanyaanku tadi. Sekarang apa jawabanmu?” Wah, sampeyan sudah ketularan gaya sok kritis ala presenter talkshow TV, kang. Okelah kalau begitu. Aku ingin mewariskan buku buat anakku. “Maksudmu perpustakaan dengan banyak sekali buku?” Lebih dari itu, kang. Memang keinginan itu tidak surut, bahkan aku sempurnakan: sebagian besar koleksi perpustakaan itu berupa buku-buku tulisanku sendiri. Buku itu kutulis untuk mendokumentasikan pemikiran dan harapan pada generasi sesudahku. Melalui buku itu, mereka bisa mengerti gagasan yang aku ungkapkan dan konteks yang melatarbelakanginya. Kelak mereka pun bisa berdialog secara imajiner denganku lewat buku tadi.
Buku yang ingin kutulis juga berisi aneka hal yang perlu dipahami mereka. Wujudnya bisa berupa bukukisah untuk membangun moral. Sampai saat ini aku masih kesulitan mendapatkan buku cerita anak yang pas. Rata-rata ceritanya hiperbolik, karikatural, dan berbau klenik. Misalnya, Udin yang baik hati diganggu Panjul yang jahat. Berkat bantuan tongkat ajaib, Udin berhasil membuat kapok Panjul. Cerita semacam ini bisa menjadi racun bagi anak, kang. Mereka akan belajar untuk berbuat jahat pada sesama atau membalas dendam pada orang yang telah menyakitinya. Lebih parah lagi jika anak-anak jadi percaya dengan klenik untuk menyelesaikan masalahnya.
Jadi, jangan sembarangan memilih buku buat anak, kang. Lebih baik kita susun sendiri buku yang pas guna menanamkan keyakinan hidup pada mereka. Mereka akan belajar banyak hal dari buku tadi. Bukankah buku itu guru yang paling sabar? Nah, aku sudah paparkan jawabanku. Bagaimana dengan sampeyan, kang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H