Sekolah di zona tertentu, terutama di daerah pinggiran atau terpencil, seringkali memiliki infrastruktur yang kurang memadai, seperti ruang kelas yang tidak mencukupi, fasilitas pembelajaran yang minim, atau kekurangan guru. Hal ini membuat sekolah-sekolah di zona tersebut kurang diminati, sehingga pemerataan akses dan mutu pendidikan sulit tercapai.
Guru berkualitas cenderung terkonsentrasi di sekolah-sekolah tertentu, sedangkan sekolah di daerah pinggiran atau terpencil sering kekurangan guru yang kompeten. Mutu pembelajaran menjadi tidak merata, sehingga siswa di zona tertentu tidak mendapatkan pendidikan yang setara.
Dalam beberapa kasus, ada siswa yang tinggal di perbatasan zona tetapi tidak diterima di sekolah mana pun karena kuota sudah penuh. Siswa tersebut harus mencari sekolah yang lebih jauh, sehingga menambah biaya transportasi dan waktu perjalanan.
Data mengenai jumlah siswa, kapasitas sekolah, dan lokasi zona seringkali tidak akurat atau tidak diperbarui secara berkala. Kesalahan data ini dapat menyebabkan penentuan zona yang tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya.
Kebijakan zonasi sering kali dianggap menghapus sistem "sekolah favorit," yang telah menjadi budaya di masyarakat. Orang tua dan pihak sekolah tertentu cenderung menolak kebijakan ini, sehingga implementasinya tidak berjalan lancar.
Tidak semua wilayah memiliki akses transportasi yang memadai untuk mendukung kebijakan zonasi, terutama di daerah pedesaan atau terpencil. Hal ini tentunya akan menimbulkan permasalahan baru yaitu siswa kesulitan mencapai sekolah meskipun secara geografis berada di zona yang sama.
Mengingat banyak kendala saat mengimplementasikan sistem zonasi pendidikan ini, ada baiknya pemerintah meninjau kembali kebijakan zonasi pendidikan yang sudah diterapkan selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H