Simbok itu hebat, dia tak pernah mengeluh tentang ketidaksempurnaan hidupnya. Â Pun tidak mau berfikir njimet. Yang tidak ada tidak usah dipaksakan ada. Di hadapanku ada gethuk. Akan aku bawa kemana masa depan kami bersama gethuk-gethuk ini, sebuah PR tersendiri.
Pagi itu, menjadi titik awal aku memaknai keajaiban dibalik gethuk-gethuk buatan simbok. Ketika rombongan  wisatawan mancanegara melewati tempat simbok berjualan di sudut pasar Kota Yogyakarta. Dari sekian banyak rombongan turis yang melintas, hanya tiga orang yang kesemuanya laki-laki yang melirik dengan makanan berwarna hijau itu.
Lelaki berkulit putih pucat, bermata biru, berhidung mancung dan berambut pirang itu lantas mendekat. Menunjuk gethuk dengan telunjuknya yang juga berwarna putih pucat
"what is this" agak terbata dia bertanya.
"Gethuk" nyaris bersamaan dan begitu kompak simbok dan aku berucap menjawab tanya turis itu.
"Ge...tu-c" ulangnya terdengar lucu dengan mulutnya yang tampak maju. Mecucu, orang Jawa menyebutnya demikian.Â
Dan pertanyaan demi pertanyaan satu per satu terlontar. Aku sedikit banyak bisa menjawab dengan kapasitas bahasa Inggris yang pas-pasan. Melihat situasi dan keadaan, Simbok memintaku untuk melayani turis yang ternyata berasal dari Belanda itu. Tiga  porsi gethuk terhidang ditangan mereka. Tiba-tiba seseorang dari mereka mengulurkan tangan kanannya sembari berucap,
"Erick"
Spontan aku menyambut uluran tangan itu dan berkata
"Lindri"
"Getuc...Lindri", tiba-tiba turis bernama Erick itu menggabungkan gethuk dengan namaku.