Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Terik Vs Paceklik, Transisi Energi Adil dan Perempuan Petani Garam Kusamba

20 Juni 2024   04:46 Diperbarui: 20 Juni 2024   04:53 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan, garam, energi matahari dan Kusamba merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ketika kita berbincang tentang transisi energi berkeadilan bagi kelompok rentan di Pulau Dewata. Garam Kusamba  merupakan produk tradisional yang ternama sejak dulu kala. Proses pembuatannya masih memanfaatkan terik  matahari. Garam itu dihasilkan  oleh bahu kekar,  tangan legam dan peluh tanpa keluh sebagian perempuan petani garam  pesisir  pantai Desa Kusamba Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung - Bali.

Garam Bali organik, begitu brand garam Kusamba yang banyak dikenal  hingga ke manca negara dalam kemasan modern. Siapa yang menyangka jika garam dengan tingkat keasinan sedang dengan butiran kristal tanpa campuran bahan kimia itu merupakan produk dari kelompok rentan yang sebagian besar adalah kaum perempuan. Ibarat dua sisi mata uang, ketenaran garam Kusamba dan dengan segala potensinya menyimpan sekelumit permasalahan terkait hak hak dalam krisis perubahan iklim hingga keadilan ekonomi. 

dok Pri Proses garam tardissional Kusamba
dok Pri Proses garam tardissional Kusamba

dok Pri 
dok Pri 

Kesederhanaan hidup perempuan petani garam Kusamba begitu terlihat manakala kita memasuki sentra  pembuatan garam di Banjar Tri Buana dan Banjar Batur. Dua lokasi tersebut menjadi jejak pembuatan garam tradisional Kusamba yang sudah ada sejak abad ke 17. Keahlian dalam membuat garam tradisional petani garam Kusumba diperoleh secara turun temurun.

 Layaknya taksu yang diwariskan oleh leluhur mereka, kelompok rentan  ini begitu menjaga keberadaan garam Kusamba sebagai sebuah wujud keselarasan hidup dengan alam baik itu laut, pantai, angin, dan terik matahari yang memberi energi untuk terus menghidupi. Garam Kusamba bukan semata produk ekonomi melainkan sudah menjadi bagian dari senyawa tradisi masyarakat pesisir Gumi Serombotan yang merupakan Kabupaten dengan luas wilayah terkecil di Propinsi Bali. 

Rumah petak di tepian laut  yang sebagian masih terbuat dari anyaman bambu itu menjadi saksi. Kristal garam berlimpah saat terik. Sebaliknya saat mendung terlebih hujan turun berhari-hari, perempuan petani garam Kusamba seolah tengah mengalami paceklik akibat tidak bisa "bekerja" memproses pembuatan garam tradisional. Mereka yang sangat bergantung pada energi matahari dalam memproduksi garam sedikit banyak terdampak secara ekonomi. Terlebih dengan mulai muncul   dampak perubahan iklim dimana cuaca tidak menentu. Ombak lautan yang tinggi pun menyebabkan abrasi yang menggerus lahan pasir tepian laut yang menjadi lahan produksi. 

dok Pri Kelompok Rentan Perempuan Petani Garam Kusamba
dok Pri Kelompok Rentan Perempuan Petani Garam Kusamba

Kelompok rentan perempuan petani garam Kusamba rawan tergerus keberadaanya. Salah satu bukti nyata, sekarang hanya tersisa kurang lebih 17 kelompok petani garam Kusamba. 2 kelompok terdapat di Banjar Tri Buana, dan 15 lainnya berada di Banjar Batur. Di Banjar Batur inilah petani garam tengah berjuang melawan abrasi yang luar biasa. Meski pemerintah setempat sudah membangun tanggul, namun dampak perubahan iklim menjadikan petani garam di Banjar Batur memiliki proses pengelolaan yang sedikit berbeda dengan petani garam di Banjar Tribuana. 

dok Pri Abrasi dan Tanggul Pantai Banjar Batur Kusamba
dok Pri Abrasi dan Tanggul Pantai Banjar Batur Kusamba

Keberadaan tanggul yang membentengi abrasi membuat air laut tidak bisa diambil secara lansung untuk pembuatan. Sulih teknologi pemasangan pipa untuk menyalurkan air laut ke tempat penampungan pun dilakukan agar produksi garam dapat terus dilakukan. Belum lagi insfrastuktur jalan masuk menuju banjar Bantur masih terbatas. Kedepan, kelompok rentan ini harus bisa menikmati porsi pembangunan sosial , ekonomi, budaya hingga insfrastuktur fisik untuk menunjang distribusi dan meningkatkan kunjungan wisata ke lokasi mereka.

Wisata Garam  Kusamba Berbasis Komunitas,  Upaya Pemerataan Ekonomi di Pulau  Dewata 

dok Pri Sentra Wisata uyah Kusamba
dok Pri Sentra Wisata uyah Kusamba

Jarak tempuh yang hanya berkisar 1 jam dari Kota Denpasar, tak serta merta menjadikan sentra lokasi garam Kusamba menjadi destinasi wisata alternatif yang ramai dikunjungi setiap hari. Pengembangan pembangunan kawasan Kusumba sebagai salah satu destinasi wisata berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat sejatinya menarik untuk ditelisik. Sayangnya hanya kalangan tertentu saja yang menaruh minat untuk datang, ikut terlibat dalam pembuatan garam  hingga menjadikan garam Kusamba sebagai buah tangan yang dibeli dan dibawa pulang.  

Sebagian wisatawan domestik dan mancanegara yang datang ke Kusamba ibarat menemukan hidden germ. Eksotisme laut dan pantai tak perlu diragukan lagi. Berada di tengah petani garam  Kusamba ibarat tengah menikmati suasana wisata sosial tempo dulu yang masih sederdana segala sesuatunya. Keramahan mereka membalut semangat pantang menyerah, kerja keras dan optimisme ditengah ketidakpastian. Sungguh, ini sebuah oase wisata psiko sosial budaya  yang mampu membangkitkan senyum dan semangat ditengah keterbatasan yang ada.

dok pri Terik Matahari berkah tersendiri
dok pri Terik Matahari berkah tersendiri

Tidak ada retribusi atau tarif khusus manakala kita hendak memanjakan hati dengan berwisata di sentra garam Kusamba. Cukup berbekal G-map maka lokasi uyah Kusamba begitu mudah untuk ditemukan. Kita akan bertemu Bu Mangku Rena, Bu Komang, Bu Nyoman dan Bu Wayan Kori manakala bertandang ke Banjar Tri Buana. Mereka adalah perwakilan kelompok rentan, perempuan petani garam Kusamba generasi ke-4. 

Bu Mangku selaku ketua kelompok petani garam berkisah, dulu banyak keluarga bertahan menjadi petani garam di Kusamba. Namun sekarang sebagian memilih mencari pekerjaan lain di Kota. Makanya jumlah petani garam Kusumba di Banjar Tri Buana  hanya tersisa ini saja. 

dok Pri Kelompok Rentan Penghasil garam
dok Pri Kelompok Rentan Penghasil garam

Suasana lengan akan kita jumpai manakala memasuki tepian pantai yang dijadikan sebagai lahan produksi. Hamparan air laut yang tengah dijemur dibawah terik matahari menjadi tanda bahwa mereka sedang memproduksi. Sebagian dijemur dalam kolam berbentuk kotak. Sebagian lagi dijemur di tempat khusus yang dibuat dari batang kelapa berukuran panjang dan terdapat cekungan.

Jika cuaca bersahabat, perempuan petani garam di Banjar Tri Buana memulai aktifitas produksi pada pukul 07.00 wita. Dibawah sinar matahari pagi yang menyehatkan, mereka mendulang air laut dengan alat tradisional yang dipikul di pundak. Sejauh 10-15 meter  beban air laut yang mereka pikul sejak diambil dari bibir pantai menuju petak pasir yang menjadi salah satu tahapan produksi. Petak pasir terlebih dahulu akan dibersihkan sebelum air laut disiram kan dari pikulan dengan teknik digoyang hingga air tersiram berlahan sampai habis. Tak cukup sekali, pundak perempuan petani garam memikul air laut. Puluhan kali mereka mengulang proses menyiram. 

dok pri Ikut Mencoba menyiram air laut
dok pri Ikut Mencoba menyiram air laut

Setelah penyiraman selesai, air laut dibiarkan terpapar terik matahari sampai sore hari.  Sekitar pukul 15.00- 16.00 wita, air laut yang sudah mengkristal diatas permukaan pasir siap dipanen dan ditampung dalam bak. Disanalah terdapat proses penyulingan. Kristal air laut akan disuling hingga menghasilkan air tua yang siap dijemur dalam wadah dan berubah menjadi butiran kristal garam. Sungguh proses pembuatan garam Kusumba membutuhkan effort tenaga dan keuletan tangan-tangan kelompok rentan.

Manakala selesai melihat proses pembuatan, wisatawan yang datang diharapkan berkenan menyisihkan donasi sekaligus membeli garam sebagai oleh-oleh. Garam Kusumba dibandrol dengan harga berkisar Rp.25.000- Rp 35.000 saja. Rata-rata dalam sehari Petani garam mampu memproduksi sekitar 25 kg garam jika cuaca bersahabat. Garam yang dihasilkan di tampung ditempat penyimpanan yang masih sederhana dalam karung. 

dok Pri Penyimpanan Uyah Kusamba masih sederhana dan beresiko
dok Pri Penyimpanan Uyah Kusamba masih sederhana dan beresiko

Mata rantai ekonomi garam Kusumba tak berhenti sebatas produksi. Pemasaran garam Kusamba dilakukan secara langsung kepada wisatawan yang datang, melalui koperasi ataupun kerjasama dengan beberapa pengusaha dari Kota sekitar. Pada Umumnya petani garam Kusamba mensupplay kebutuhan garam mencapai 50 Kg dalam setiap transaksi. 

Transisi Energi Adil  tidak semata berfokus pada berapa rupiah nomimal yang bisa dihasilkan oleh kelompok rentan. Kita harus pula memastikan apakah kelompok rentan sudah memahami dan merasakan hak-hak keadilan dalam proses distribusi tersebut. Jangan sampai garam Kusumba memunculkan mata rantai ketidakadilan gender dan ekonomi dimana ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara fantantis tanpa memperhatikan tingkat kesejahteraan dan resiko perubahan iklim yang harus mereka rasakan.

dok Pri Kondisi Sentra Garam Banjar Batur Kusamba
dok Pri Kondisi Sentra Garam Banjar Batur Kusamba

Wisata berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat ini tentu harus memperhatikan ekosistem lingkungan yang berkelanjutan upaya agar garam Kusumba tidak kehilangan taksu budaya.

Menanti Kristalisasi Program Multi Stakeholder, Jaring Pengaman Bagi Kelompok Rentan

dok Pri Sejumlah Pemangku Kebijakan mensupport Petani garam Kusamba
dok Pri Sejumlah Pemangku Kebijakan mensupport Petani garam Kusamba

Garam kusamba dan kelompok rentan perempuan petani garam dengan segala potensinya haruslah menjadi prioritas  sasaran kebijakan dan program pembangunan multi stakeholder. Hal itu diharapkan mampu menjadi jaring pengaman sosial-ekonomi-budaya dan bisa membuat keberlangsungan produksi garam Kusamba di tengah ancaman perubahan iklim. 

Peningkatan kapasitas produksi dari hulu ke hilir melalui tenaga pendampingan, pelatihan diversifikasi ketrampilan penunjang lain menjadi kristalisasi program yang dinanti oleh kelompok rentan yang masih tergantung pada alam. Tak cukup sekali dan hanya berasal dari satu dua lembaga semata, kerjasama multi sektor akan membantu terbentuknya jaring pengaman secara berlapis kepada kelompok rentan agar mereka tetap berkelanjutan

dok Pri membeli garam Kusamba
dok Pri membeli garam Kusamba

Perlindungan dan penataan lingkungan, stimulan kebijakan bantuan dari pemerintah lokal, nasional dan afiliasi program dari kelembagaan yang mumpuni sekelas Oxfam akan menjadi asa mewujudkan masa depan setara bagi kelompok rentan. Oxfam yang sudah berpengalaman dalam kegiatan intervensi pengentasan kemiskian di pelbagai penjuru dunia tentunya sangat dinanti oleh para kelompok rentan perempuan petani garam. 

Tak hanya di Kusamba, Indonesia memiliki sebaran wilayah yang selama ini identik dengan petani garam. Di Pulau Bali sendiri terdapat beberapa sentra penghasil garam dengan ciri khas yang berbeda antara lain di Tejakula Kabupaten Buleleng, Desa Tianyar Karangasem dan beberapa wilayah lainnya. Belum lagi ketika kita menyubut Pulau Garam Madura, wilayah Cirebon-Indramayu, daerah Gresik hingga Surabaya. Bersama Afiliasi program Oxfam,  swasembada garam di Indonesia niscaya tidak akan menyisakan dampak bagi kelompok rentan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun