Keberadaan tanggul yang membentengi abrasi membuat air laut tidak bisa diambil secara lansung untuk pembuatan. Sulih teknologi pemasangan pipa untuk menyalurkan air laut ke tempat penampungan pun dilakukan agar produksi garam dapat terus dilakukan. Belum lagi insfrastuktur jalan masuk menuju banjar Bantur masih terbatas. Kedepan, kelompok rentan ini harus bisa menikmati porsi pembangunan sosial , ekonomi, budaya hingga insfrastuktur fisik untuk menunjang distribusi dan meningkatkan kunjungan wisata ke lokasi mereka.
Wisata Garam  Kusamba Berbasis Komunitas, Upaya Pemerataan Ekonomi di Pulau  DewataÂ
Jarak tempuh yang hanya berkisar 1 jam dari Kota Denpasar, tak serta merta menjadikan sentra lokasi garam Kusamba menjadi destinasi wisata alternatif yang ramai dikunjungi setiap hari. Pengembangan pembangunan kawasan Kusumba sebagai salah satu destinasi wisata berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat sejatinya menarik untuk ditelisik. Sayangnya hanya kalangan tertentu saja yang menaruh minat untuk datang, ikut terlibat dalam pembuatan garam  hingga menjadikan garam Kusamba sebagai buah tangan yang dibeli dan dibawa pulang. Â
Sebagian wisatawan domestik dan mancanegara yang datang ke Kusamba ibarat menemukan hidden germ. Eksotisme laut dan pantai tak perlu diragukan lagi. Berada di tengah petani garam  Kusamba ibarat tengah menikmati suasana wisata sosial tempo dulu yang masih sederdana segala sesuatunya. Keramahan mereka membalut semangat pantang menyerah, kerja keras dan optimisme ditengah ketidakpastian. Sungguh, ini sebuah oase wisata psiko sosial budaya  yang mampu membangkitkan senyum dan semangat ditengah keterbatasan yang ada.
Tidak ada retribusi atau tarif khusus manakala kita hendak memanjakan hati dengan berwisata di sentra garam Kusamba. Cukup berbekal G-map maka lokasi uyah Kusamba begitu mudah untuk ditemukan. Kita akan bertemu Bu Mangku Rena, Bu Komang, Bu Nyoman dan Bu Wayan Kori manakala bertandang ke Banjar Tri Buana. Mereka adalah perwakilan kelompok rentan, perempuan petani garam Kusamba generasi ke-4.Â
Bu Mangku selaku ketua kelompok petani garam berkisah, dulu banyak keluarga bertahan menjadi petani garam di Kusamba. Namun sekarang sebagian memilih mencari pekerjaan lain di Kota. Makanya jumlah petani garam Kusumba di Banjar Tri Buana  hanya tersisa ini saja.Â
Suasana lengan akan kita jumpai manakala memasuki tepian pantai yang dijadikan sebagai lahan produksi. Hamparan air laut yang tengah dijemur dibawah terik matahari menjadi tanda bahwa mereka sedang memproduksi. Sebagian dijemur dalam kolam berbentuk kotak. Sebagian lagi dijemur di tempat khusus yang dibuat dari batang kelapa berukuran panjang dan terdapat cekungan.
Jika cuaca bersahabat, perempuan petani garam di Banjar Tri Buana memulai aktifitas produksi pada pukul 07.00 wita. Dibawah sinar matahari pagi yang menyehatkan, mereka mendulang air laut dengan alat tradisional yang dipikul di pundak. Sejauh 10-15 meter  beban air laut yang mereka pikul sejak diambil dari bibir pantai menuju petak pasir yang menjadi salah satu tahapan produksi. Petak pasir terlebih dahulu akan dibersihkan sebelum air laut disiram kan dari pikulan dengan teknik digoyang hingga air tersiram berlahan sampai habis. Tak cukup sekali, pundak perempuan petani garam memikul air laut. Puluhan kali mereka mengulang proses menyiram.Â