Perempuan, garam, energi matahari dan Kusamba merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ketika kita berbincang tentang transisi energi berkeadilan bagi kelompok rentan di Pulau Dewata. Garam Kusamba  merupakan produk tradisional yang ternama sejak dulu kala. Proses pembuatannya masih memanfaatkan terik  matahari. Garam itu dihasilkan  oleh bahu kekar,  tangan legam dan peluh tanpa keluh sebagian perempuan petani garam  pesisir  pantai Desa Kusamba Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung - Bali.
Garam Bali organik, begitu brand garam Kusamba yang banyak dikenal  hingga ke manca negara dalam kemasan modern. Siapa yang menyangka jika garam dengan tingkat keasinan sedang dengan butiran kristal tanpa campuran bahan kimia itu merupakan produk dari kelompok rentan yang sebagian besar adalah kaum perempuan. Ibarat dua sisi mata uang, ketenaran garam Kusamba dan dengan segala potensinya menyimpan sekelumit permasalahan terkait hak hak dalam krisis perubahan iklim hingga keadilan ekonomi.Â
Kesederhanaan hidup perempuan petani garam Kusamba begitu terlihat manakala kita memasuki sentra  pembuatan garam di Banjar Tri Buana dan Banjar Batur. Dua lokasi tersebut menjadi jejak pembuatan garam tradisional Kusamba yang sudah ada sejak abad ke 17. Keahlian dalam membuat garam tradisional petani garam Kusumba diperoleh secara turun temurun.
 Layaknya taksu yang diwariskan oleh leluhur mereka, kelompok rentan  ini begitu menjaga keberadaan garam Kusamba sebagai sebuah wujud keselarasan hidup dengan alam baik itu laut, pantai, angin, dan terik matahari yang memberi energi untuk terus menghidupi. Garam Kusamba bukan semata produk ekonomi melainkan sudah menjadi bagian dari senyawa tradisi masyarakat pesisir Gumi Serombotan yang merupakan Kabupaten dengan luas wilayah terkecil di Propinsi Bali.Â
Rumah petak di tepian laut  yang sebagian masih terbuat dari anyaman bambu itu menjadi saksi. Kristal garam berlimpah saat terik. Sebaliknya saat mendung terlebih hujan turun berhari-hari, perempuan petani garam Kusamba seolah tengah mengalami paceklik akibat tidak bisa "bekerja" memproses pembuatan garam tradisional. Mereka yang sangat bergantung pada energi matahari dalam memproduksi garam sedikit banyak terdampak secara ekonomi. Terlebih dengan mulai muncul  dampak perubahan iklim dimana cuaca tidak menentu. Ombak lautan yang tinggi pun menyebabkan abrasi yang menggerus lahan pasir tepian laut yang menjadi lahan produksi.Â
Kelompok rentan perempuan petani garam Kusamba rawan tergerus keberadaanya. Salah satu bukti nyata, sekarang hanya tersisa kurang lebih 17 kelompok petani garam Kusamba. 2 kelompok terdapat di Banjar Tri Buana, dan 15 lainnya berada di Banjar Batur. Di Banjar Batur inilah petani garam tengah berjuang melawan abrasi yang luar biasa. Meski pemerintah setempat sudah membangun tanggul, namun dampak perubahan iklim menjadikan petani garam di Banjar Batur memiliki proses pengelolaan yang sedikit berbeda dengan petani garam di Banjar Tribuana.Â