Bali tak hanya dikenal sebagai surga pariwisata. Filosofi  keseimbangan hidup Tri Hita Karana mewujud hampir di setiap lini kehidupan masyarakatnya. Seperti halnya saat saya bertandang ke Desa Bongkasa Pertiwi yang terletak di Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Deretan rumah yang masih memegang teguh tradisi lokal begitu kentara terlihat dari bangunan fisik serta suasana budaya warganya. Siapa yang menyangka, dibalik kemelekatan tradisi di Bali terdapat oase bagi keberlanjutan teknologi energi terbarukan yang sangat bermanfaat bagi kalangan perempuan.
Perjalanan mengantarkan saya bertandang ke rumah Me'Yogi, Perempuan yang berusia lebih dari 60 tahun di Banjar Karang Dalem 1 Desa Bongkasa Pertiwi. Tak sulit mencari rumah Me'Yogi sebab didepan rumah berarsitektur Bali tersebut terpampang plang bertulis Biogas House atau Rumah Biogas. Terdapat pula puluhan rumah lain yang bertuliskan rumah biogas, menjadi penanda bahwa rumah tersebut menjadi pengguna sekaligus pendulang Energi Baru Terbarukan (EBT) berupa biogas untuk memenuhi kebutuhan memasak sehari-hari.
Perempuan muda menyambut kedatangan saya begitu  memasuki angkul-angkul, pintu masuk utama rumah Bali. Perempuan  yang masih duduk di kelas 2 SMP  itu bernama Geg Rani, cucu dari Me' Yogi. Terjadi transformasi penngetahuan EBT lintas generasi. Bukan hanya Me' Yogi yang sudah membersamai EBT,namun Rani pun begitu menguasai seluk beluk pemanfaatan teknologi pengolahan limbah kotoran ternak di rumahnya.
Antusias saya menyimak keterangan Geg Rani. Saya ingin melihat secara langsung proses dan bukti pemanfaatan biogas. Begitu kami beralih dari bale dauh menuju pekarangan belakang, muncul Me' Yogi dengan senyum dan penampilan khas perempuan Bali. Kami bertiga pun tampak akrab satu sama lain layaknya tim pendulang EBT menuju Transisi Energi Adil untuk masa depan perempuan berkelanjutan. Tak tercium bau kotoran ternak sedikitpun ketika kami memasuki lokasi kandang. 2 ekor babi tampak dalam kandang yang bersih.
Begitulah, tulisan ini dengan tidak mengurangi rasa hormat tidak sedang mempersoalkan halal haram terkait keberadaan babi sebagai masakan/hidangan. Keberadaan babi bagi sebagian krama Bali, diyakini memiliki nilai spiritual budaya tersendiri. Sebut saja di Desa Timbrah Kabupaten Karangasem, dikenal tradisi Usaba Sumbu. Terdapat mitologi dibalik ratusan babi guling yang dihaturkan dalam upacara adat. Bahkan terdapat awig-awig Desa Adat Timbrah yang kurang lebihnya menyebut bahwa menghaturkan babi melalui tradisi Usaba Sumbu menjadi sebuah bentuk dan harap keberkahan bagi warga desa.
Lain di Desa Timbrah, lain pula tradisi di Bongkasa Pertiwi. Keberadaan babi di Bali sudah menjadi bagian dalam kehidupan budaya. Babi nyatanya tak sekedar menjadi ciri khas makanan tradisional Bali semata. Namun memberi senyum bagi sebagian perempuan di Desa Bongkasa Pertiwi  yang sudah merasakan manfaat EBT selama ini.
Cekatan Geg Rani menerangkan bagian demi bagian dari instalasi dan proses sederhana pembuatan biogas dari kotoran babi. Saya nyaris tidak percaya bahwa mendulang EBT begitu mudah dan ramah lingkungan. 15 menit konsep proses biogas diterangkan detail dan sangat jelas. Saya masih belum puas manakala sharing pengetahuan antar sesama perempuan tanpa disertai praktek langsung. Â Geg Rani maupun Me'Yogi memberi kursus privat. Mereka menyebut, biogas bisa dibuat dari kotoran sapi, namun di Bongkasa Pertiwi, warga menggunakan kotoran babi.