3 April 2015, menjadi awal saya menuliskan sebuah puisi di laman kompasiana.com. Sebelumnya, lebih dari satu bulan saya hanya mampu menjadi silent reader, membaca tulisan-tulisan yang dalam benak saya begitu memukau.Â
Sementara saya bingung harus menulis apa, dan bagaimana saya memulai menulisnya.
Saya memulai menulis dengan sebuah puisi berjudul Bumi Laka-Laka,Jepangnya Indonesia, diibaca oleh 70 -an mendapat 2 penilaian menarik oleh 2 nama akun yang tidak saya kenal dan 1 komentar dari salah satu pemberi nilai. Puisi tersebut diberi label Headline oleh mimin Kompasiana, entah karena apa.
Saya hanya menuliskannya dengan hati. ingin mengenalkan sebuah kota yang memiliki julukan Jepangnya Indonesia. Berangkat dari realitas potensi yang ada disana.
Saya tidak menyebar link puisi di WAG, FB atau sosmed lain serta meminta support nilai  dan komentar. Semua begitu alami saya jalani. Saya belum tahu apa itu Kompasiana, admin kompasiana, komunitas , admin komunitas, hingga istilah Headline dan artikel pilihan.Â
Saya mengenal Kompasiana dari Pak Tjiptadinata Effendi, Peraih K Of The Years dan the legend of Kompasiana. Saat itu saya dalam masa transisi. Baru saje resign dari kerja formal di Ibukota dan mengikuti suami bekerja di kota Madiun.Â
Sementara saya bertemu Pak Tjip di Slawi, Ibu kota Kabupaten Tegal dalam sebuah acara komunitas waskita Reiki. Ya, awal saya menulis di Kompasiana bukan tanpa sebab.Â
Menulis menjadi salah satu methode therapi hati. Saya meyakini dan menjalani. Ketika saya perlahan tapi pasti kembali percaya diri menuangkan ide, gagasan atau sekedar karya cerita.Â
Tidak muluk-muluk, saya kembali bisa tersenyum , bisa ceria - itu saja. Terlebih tagline kompasiana yang waktu itu adalah sharing and connecting, kembali membuat saya bangkit dari keterpurukan dan adaptasi fase kehidupan.
Menulis dari Warnet Saya Lakoni