tradisi perayaan Kartini identik dengan kebaya, sanggul dan simbol perempuan dalam konteks budaya. Berbicara budaya maka tak lepas dari proses tradisi yang didalamnya terkandung sebuah nilai filosofi. Â
Bukan sebuah kebetulan, peringatan hari Kartini 21 April 2022 berada di sepertiga bulan Ramadan. Sudah menjadi semacamDalam konteks universal, Kartini adalah sosok perempuan. Dan bulan April tahun ini merupakan bulan Ramadan. Keduanya memiliki relasi dan kolerasi timbal balik  yang saling menguatkan.
Sejenak kita bayangkan ketika puasa tanpa hadirnya perempuan. Dalam keluarga, perempuan memiliki aktifitas sentral yang tidak bisa dikesampingkan perannya begitu saja. Sejenak mari kita tengok, siapa yang menyiapkan aneka takjil hingga menu berbuka puasa? pun makan sahur. Semua itu tak luput dari sentuhan peran perempuan.
Bagi perempuan, bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat perhitungan. selain dari segi menyiapkan kebutuhan menu harian berbuka puasa. Tengok saja, siapa yang sejak awal ramadan sudah mulai menyicil membeli keperluan lebaran. Terlebih perempuan yang memiliki anak-anak yang masih belum beranjak dewasa. Pastinya selama bulan ramadan akan banyak pergumulan hati dan kalkulasi perhitungan uang belanja. Bicara tentang THR, perempuan pasti cenderung vokal. Mungkin memang sudah menjadi kodratnya demikian.
Bahkan bagi sebagian perempuan, Ramadan menjadi bulan memaksimalkan kreatifitas produktif. Ada yang menjadi pedagang takjil dadakan, menerima pesanan kue lebaran, hingga ngebut menyelesaikan pesanan jahitan baju lebaran. Siapa yang paling sibuk saat Ramadan?, jawabnya pasti perempuan.
Namun, pernahkah kita mencoba mencari sebuah benang merah, kenapa perempuan bisa sedemikian rupa bahkan saat bulan suci yang dianggap istimewa?. Legacy atas tradisi turut andil didalamnya. Belum lagi saat kita mewarisi konsep filosofi tertentu yang menjadikan perempuan adalah "pedaringan".
Tradisi sekaligus filosofi Perempuan itu ibarat Pedaringan, merupakan salah satu falsafah hidup sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang ajaran leluhurnya.Â
Saya sendiri mengenal pedaringan sedari kecil dalam bentuk perwujudan benda, berupa gerabah yang terbuat dari tanah liat. Sebagian besar masyarakat mengenalnya dengan sebutan gentong. Hanya saja, pedaringan memiliki ukuran yang lebih kecil. JIka gentong digunakan untuk menyimpan air, maka pedaringan berfungsi menyimpan beras.
Berawal dari mengenal wujud pedaringan, saya pun mau tidak mau- suka tidak suka secara perlahan dikenalkan dengan nilai filosofi Pedaringan itu sendiri oleh Ibu. Hal pertama yang ibu ajarkan adalah filosofi berbagi melalui Jimpitan. Pada setiap kami mengambil beras di pedaringan, maka ada semacam kewajiban untuk menjimpit/mengambil dengan tangan dalam jumlah yang sedikit dan mengumpulkanny ditempat terpisah. Beras jimpitan tersebut dikumpulkan hingga pada jumlah tertentu untuk kemudian dibagi/disedekahkan/diberikan kepada orang yang membutuhkan.
Jika kita rutin melakukan jimpitan beras dari pedaringan, bahkan bukan saja pada bulan ramadan maka sebenarnya akan meringankan kita dalam menunaikan Zakat  fitrah akhir ramadan. Tanpa perlu kuatir membebani kondisi keuangan menjelang lebaran dengan segala macam kebutuhan perayaan.
Hal lain terkait pedaringan yang selalui diwanti-wanti oleh ibu adalah jangan sampai pedaringan itu kosong. Jika sudah berkurang separuh, maka segeralah membeli beras dan mengisi pedaringan menjadi penuh kembali. Hal ini membangun ruang kesadaran bagi saya tentang konsep ketahanan pangan. Itulah kenapa pedaringan yang menjadi lumbung beras tingkat keluarga bagi yang tidak memiliki sawah.
Ternyata, konsep lumbung padi pun tak hanya menjadi bagian dari tradisi dan filosofi masyarakat Jawa semata. Melainkan pula masyarakat sunda, pada sebuah entitas budaya kasepuhan Banten Selatan. Tepatnya di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi - Jawa Barat. Setiap tahun tradisi menyimpan padi hasil panen sedemikian runtut melalui tradisi Saranteun yang didalamnya terdapat upacara adat Ngadiukeun.
Ngadiueken, sebuah prosesi adat memasukkan padi hasil panen ke dalam Leuit Si Jimat alias Lumbung Padi Utama. Tradisi untuk menyimpan padi sebagai filosofi ketahanan pangan masayarakat setempat yang masih terjaga secara turun temurun. Beruntung, sebelum pandemi melanda saya bisa menyaksian rangkaian Seren taun termasuk upacara Ngadieukeun di Kasepuhan Ciptagelar. Dan lagi-lagi berbicara tentang tradisi lumbung padi, tidak lepas dari keberadaan perempuan, termasuk saat perayaan saran teun di wilayah Sukabumi Selatan.
Berawal dari hal sederhana yakni mengenal konsep pedaringan hingga menyaksikan perayaan saranteun yang notabene berada di wilayah budaya yang berbeda, disitulah saya menemukan bahwa perempuan merupakan noktah dalam tradisi dan filosofi dibalik makna "pedaringan" atau "lumbung Pangan".
Sikap "Nggulowentah" atau dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai upaya mendidik/mengajarkan  tradisi dan filosofi dibalik makna "pedaringan" dari, oleh dan untuk kaum perempuan menjadi sebuah legacy, warisan tak ternilai yang jika kita lakukan degan baik akan menopang kemampuan mengelola "keuangan" keluarga, dimana peran perempuan/Istri tak sebatas kasir semata, melainkan setingkat diatasnya.
Lantas, apa kaitannya semua hal diatas dengan bulan Ramadan?, Berangkat dari pengalaman pribadi, Â manakala lumbung pangan yang menjadi ranah ketahanan pangan keluarga tercukupi, maka ibadah ramadan pun bisa kita jalankan dengan tenang dan maksimal. Kita merasa ringan dan dimudahkan dalam menunaikan kewajiban zakat fitrah, demikian pula dalam mengatur pemenuhan kebutuhan lebaran yang adakalanya menjadi berlipat.
Hari Kartini boleh saja terlewat, namun sebagai perempuan alangkah rugi manakala kita tidak bisa mewarisi nilai tradisi dan filosofi dari sesama Kartini baik yang tersurat maupun tersirat. Semoga kita menjadi perempuan yang siap menjaga legacy atas tradisi dan folosofi kebaikan lintas generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H