Hal lain terkait pedaringan yang selalui diwanti-wanti oleh ibu adalah jangan sampai pedaringan itu kosong. Jika sudah berkurang separuh, maka segeralah membeli beras dan mengisi pedaringan menjadi penuh kembali. Hal ini membangun ruang kesadaran bagi saya tentang konsep ketahanan pangan. Itulah kenapa pedaringan yang menjadi lumbung beras tingkat keluarga bagi yang tidak memiliki sawah.
Ternyata, konsep lumbung padi pun tak hanya menjadi bagian dari tradisi dan filosofi masyarakat Jawa semata. Melainkan pula masyarakat sunda, pada sebuah entitas budaya kasepuhan Banten Selatan. Tepatnya di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi - Jawa Barat. Setiap tahun tradisi menyimpan padi hasil panen sedemikian runtut melalui tradisi Saranteun yang didalamnya terdapat upacara adat Ngadiukeun.
Ngadiueken, sebuah prosesi adat memasukkan padi hasil panen ke dalam Leuit Si Jimat alias Lumbung Padi Utama. Tradisi untuk menyimpan padi sebagai filosofi ketahanan pangan masayarakat setempat yang masih terjaga secara turun temurun. Beruntung, sebelum pandemi melanda saya bisa menyaksian rangkaian Seren taun termasuk upacara Ngadieukeun di Kasepuhan Ciptagelar. Dan lagi-lagi berbicara tentang tradisi lumbung padi, tidak lepas dari keberadaan perempuan, termasuk saat perayaan saran teun di wilayah Sukabumi Selatan.
Berawal dari hal sederhana yakni mengenal konsep pedaringan hingga menyaksikan perayaan saranteun yang notabene berada di wilayah budaya yang berbeda, disitulah saya menemukan bahwa perempuan merupakan noktah dalam tradisi dan filosofi dibalik makna "pedaringan" atau "lumbung Pangan".
Sikap "Nggulowentah" atau dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai upaya mendidik/mengajarkan  tradisi dan filosofi dibalik makna "pedaringan" dari, oleh dan untuk kaum perempuan menjadi sebuah legacy, warisan tak ternilai yang jika kita lakukan degan baik akan menopang kemampuan mengelola "keuangan" keluarga, dimana peran perempuan/Istri tak sebatas kasir semata, melainkan setingkat diatasnya.
Lantas, apa kaitannya semua hal diatas dengan bulan Ramadan?, Berangkat dari pengalaman pribadi, Â manakala lumbung pangan yang menjadi ranah ketahanan pangan keluarga tercukupi, maka ibadah ramadan pun bisa kita jalankan dengan tenang dan maksimal. Kita merasa ringan dan dimudahkan dalam menunaikan kewajiban zakat fitrah, demikian pula dalam mengatur pemenuhan kebutuhan lebaran yang adakalanya menjadi berlipat.
Hari Kartini boleh saja terlewat, namun sebagai perempuan alangkah rugi manakala kita tidak bisa mewarisi nilai tradisi dan filosofi dari sesama Kartini baik yang tersurat maupun tersirat. Semoga kita menjadi perempuan yang siap menjaga legacy atas tradisi dan folosofi kebaikan lintas generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H