Kawasan Jalan Ciputat Raya terbilang ramai saat sore. Saya bersemangat menenteng bawaan berisi botol plastik bekas air mineral yang sengaja saya kumpulkan. Ukurannya relatif besar.Â
Tas berwarna hijau bertulis kantong Bank Sampah inilah yang memberi motivasi pada saya untuk sedikit memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Meski jujur saja saya kerap bertanya, hidup tanpa sampah plastik? mungkinkan menjadi sebuah keniscayaan.Â
Beruntung saya bukan termasuk manusia pesimis. Setidaknya saya yakin, ada jalan untuk terus memperbaiki lingkungan dari gempuran sampah plastik.Â
Langkah kecil telah saya mulai lebih dari dua tahun lalu. Menjadi anggota bank sampah, dimana saya tidak akan malu memungut sampah plastik berupa botol air mineral ata gelas bekas minuman untuk saya bawa pulang. Di sudut rumah sengaja saya letakkan kardus berukuran besar untuk menampung aneka sampah plastik.Â
Awalnya seperti kurang kerjaan saja. Tanpa sungkan saya kerap menyisir tempat sampah besar di lingkungan hunian. Memisahan sekaligus mengambil sampah plastik.Â
Lambat laun menjadi kebiasaan. Bahkan menjadi satu kegembiraan tatkala ada warga hunian yang memisahkan botol-botol bekas minuman dalam kantong plastis terpisah.Â
Rasa syukur bahwa mungkin tetangga melihat perilaku saya yang kerap memungut sampah plastik, sehingga mereka mempermudah dengan memisahkan sampah plastik dan meletakkan terpisah dari sampah basah.
Hingga saat ramadan lalu saya dipertemukan dengan sosok perempuan luar biasa yang setiap malam melakukan pekerjaan mulia, memungut sampah plastik dan menjadikannya perantara pemenuh kebutuhan ekonomi keluarganya. Orang kebanyakan menyebutnya sebagai pemulung. Mbak Wati namanya.Â
Dari mbak Wati pula saya mengenal peradaban Lapak Kenanga yang letaknya hanya berjarak sekitar 2 km dari tempat tinggal saya di kawasan Pondok Pinang Jakarta Selatan.Â
Siapa sangka, di ujung jalan kenanga, dimana untuk menuju kesana melewati rumah-rumah yang terbilang "mewah" ternyata menjadi saksi betapa sampah plastik telah menjadikan siklus perputaran ekonomi dan menyisakan kisah kepedulian lingkungan yang belum banyak tergali.
Sore tadi lebih dari tiga kali saya menyambangi lapak sampah plastik Kenanga. Mengunjungi keluarga mba Wati, silaturami sekaligus menjadikan hal ini sebagai wisata sosial tersendiri.Â
Tentengan besar berisi aneka botol air mineral menjadi oleh-oleh wajib yang selalu saya bawa saat berkunjung kesana. Ya, sejak pandemi saya tidak lagi menyetor sampah plastik ke bank sampah yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.Â
Saya tetap mengumpulkan sampah plastik namun saya jadikan sebagai bentuk penyambung silaturahmi dengan peradaban lapak sampah kenanga. Terkadang, mbak Wati mengambilnya.Pernah beberapa kali mengirim ampah plastik ke bank sampah melalui jasa ojek online juga.
Tak jarang saya sengaja mengantarkan botol-botol bekas yang saya kumpulkan langsung ke lokasi lapak dan menyerahkannya kepada mbak Wati. Beruntung saaat saya bertandang, mbak Wati tengah berkumpul dengan keluarga. 3 orang anak dan Bapak Mbak Wati bernama Turyono. Sementara anaknya bernama Wawan, Andika dan Diva.Â
Berada di kediaman mereka yang merupakan bangunan semi permanen yang terbuat dari papan hanya berukuran kurang lebih 5 x 6 meter sebenarnya sedikit memprihatinkan. Rumah panggung dimana kolong rumah menjadi penyimpanan aneka sampah plastik sangat rawan bagi kesehatan. pun rawan bencana kebakaran.Â
Saat saya bertanya selama pandemi adakah diantara warga lapak yang terserang Korona,?. Serempak mereka menjawab tidak ada, sehat-sehat saja.Â
Makan yang cukup menjadi salah satu kuncinya. Yang penting cukup makan-minum-istirahat jika capek. Begitu kilah mereka. Â Dari Pak Turyono saya sedikit merekam kisah lapak kenanga.
Usia lapak sampah plastik itu berkisah 5-6 tahunan. Tidak ada bau yang cukup mengganggu saat kita memasuki kawasan itu. Hanya tumpukan sampah plastik yang jauh dari kesan rapi saja yang menjadikan kurang sedap dilihat oleh mata. Luas lahan kisaran lebih dari 1 Ha. Ada 3 blok lapak sampah.Â
Blok  depan dihuni kisaran 20 keluarga. Blok tengah yang saya datangi dihuni oleh kisaran 40 keluarga. dan blok Belakang yang baru dibangun dan hanya dihuni kurang dari 20 keluarga. Kesemuanya bekerja sebagai pengumpul sampah plastik dari jalanan. Mereka merupakan pendatang yang rata-rata berasal dari wilayah republik ngapak di sekitaran Purbalingga- Cilacap- Banjarnegara.
Dari 3 blok tersebut masing-masing memiliki bos, seorang yang memegang peran utama bagi perputaran ekonomi di peradaban yang luar biasa. Dalam  1 minggu 1 pekerja pengumpul sampah menyetor hasil dan menerima imbalan berdasarkan banyak-sedikitkan quota sampah yang berhasil di kumpulkan.Â
Kisaran pendapatan mingguan jika sedang beruntung bisa mencapai Rp. 500.000 masih harus di potong untuk iuran listri, kasbon dan catatan warung tempat mereka memenuhi kebuhan hidup sehari-hari. Tetap bersyukur adalah cara mereka mencukupkan semua kebutuhan atas penghasilan dari berkah sampah plastik bagi keluarganya.
Lapak Kenanga, peradaban sampah plastik konvensional yang menjadi mata rantai untuk terus menekan jumlah salah satu item pengganggu keseimbangan bumi. Mereka menjadikan sampah plastik menjadi berkah tersendiri.Â
Ada hal yang masih terus digali terkait dengan ketersediaan sarana air bersih baik untuk MCK, terlebih untuk mereka konsumsi sehari-hari.Â
Edukasi memilah sampah plastik melalui 3 R, Reduse - Reuse- Riclycle menjadi harapan bahwa mereka bisa mendapatkan pengetahuan baru dalam memperlakukan sampah plastik tidak semata sebagai objek pembawa materi. Harus ada peningkatan edukasi bagi pekerja lingkungan level biasa seperti mereka.Â
Terlebih jika melihat anak-anak yang lahir dan tinggal di lingkungan tersebut memiliki hak pendidikan dan ketrampillan yang harus lebih baik demi kelestarian lingkungan ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H