Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kenangan Masa Kecil Ramadan, Ngabuburit ke Dusun Tetangga Hingga Mercon Tengis yang Dirindukan

19 April 2021   23:46 Diperbarui: 20 April 2021   00:27 2395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore tadi saat saya berkendara melintas kawasan jl veteran Bintaro dalam rangka ngabuburit, perhatian saya tertuju pada sekelompok anak berjalan beriringan hendak menyebrang. Sebagian menggunakan sepeda.Sebagian lagi berjalan kaki.

Saya terpaksa menghentikan laju kendaraan akibat mereka bergurau satu sama lain. Hampir memenuhi bahu jalan.

"Dari mana mau kemana kalian tong?", Sedikit berteriak aku sembari meminta mereka minggir.

"Bocah laki-laki berkaos biru bertuliskan superior tampak ramah menjawab :

"Dari Tanah Kusir mau ke Ceger", wajahnya nampak cengar-cengir 

"Bujug dah...jauh amat maennya" aku bergumam sembari meneruskan perjalanan.

Ngabuburit

Sesaat kemudian ingatan saya melintas zaman. Beberapa puluh tahun lalu, saat masih seusia mereka saya pun kurang lebih melakukan hal yang sama. Alih-alih menunggu waktu berbuka alias ngabuburit, jiwa penjelajah masa kecil saya sudah mulai terlatih hingga kerap meronta-ronta hingga sekarang. 

Melewati jalan setapak di tepian rel kereta api, yang memiliki sungai kecil atau orang Tegal menyebutnya "kowen" (baca dengan aksen e logat Batak). Bila musim hujan aliran airnya lumayan, sepaha anak-anak hingga selutut orang dewasa. 

Teringat akan pesan ibu bahwa jangan main di kowen nanti kakinya "budugan"/korengan, saya pun melewatkannya begitu saja. Saya lebih tertarik melangkahkan kaki di jalan setapak dimana tepian jalannya ditumbuhi rumput liar, dan perdu. Jalan itu menghubungkan dusun yang satu dengan dusun yang lain, hingga tembus ke desa tetangga.

Jarak terdekat yang pernah saya tempuh beserta teman masa kecil saya dulu adalah ngabuburit ke dusun tetangga. Dari Bakulan ke Pengamen atau Karangasem. Tiga dari sekitar 5-6 dusun yang masih berada di satu desa, yakni desa Tegalwangi.

Pernah juga sih beberapa kali ngabuburit ke desa tetangga, dari Tegalwangi ke Pepesan sekedar membeli takjil. 

Atau tak jarang berjalan kaki hingga ke Desa Kaligayam, menguji keberanian dalam menyebrang jalan raya Pagongan. Ah ya, anak-anak jaman old kerap ditempa oleh suasana alami sekitar. Maklum saja, jaman itu belum ada gadget, PlayStation. Pun belum banyak yang memiliki games wacht.

Jika terlalu jauh saya dan teman-teman ngabuburit terkadang pulang ke rumah harus dengan berlari agar saat adzan Maghrib sudah sampai rumah.

Entah kapan kenangan masa kecil saat Ramadan itu terulang. Yang jelas, jiwa petualangan melintas dari satu daerah ke daerah lain masih terus saja terbawa hingga sekarang.  Kini, kowen pun sudah berubah menjadi gorong-gorong jalan beraspal.

Mercon Tengis yang Dirindukan.

Dok.pri
Dok.pri

Preketek...preketekkk....pretekerrr... Dorrrr!!!

Bunyi khas petasan masa kecil dulu yang kadang sekarang sungguh dirindukan. Masa kecil dulu kami menyebutnya dengan istilah mercon. Sungguh bukan petasan yang berdebum layaknya bom panci skala terkecil.

Mercon Tengis, petasan khas anak kecil yang murah meriah. Dibeli dengan uang logam 50-100 perak. Dalam satu plastik kecil berisi beberapa lintingan yang tak bergitu panjang dengan sumbu yang pendek. Bentuknya seperti "Tengis", atau cabe rawit dalam bahasa Indonesia.

Saking murah meriahnya, mercon tengis kerap membuat anak-anak yang memainkannya kecewa. Berharap bunyi dorrrr setelah preketek-preketek, ternyata yang ada malah "mlepes" pesss. tidak berbunyi sama sekali. Dan hanya muncul sedikit asap dengan bau khas obat petasan.

Ketika mercon Tengis tak mlepes, maka biasanya anak-anak lain akan menyoraki atau mengejek. Istilah sekarangnya membully dengan kompak mereka akan berseru huuuuuuuuu. Si pemilik Mercon Tengis pun akan bertambah kesal dengan ejekan itu.

Meski kebanyakan petasan dimainkan oleh anak laki-laki, namun berkat mercon Tengis pula tak sedikit anak perempuan yang turut bermain mercon, termasuk diantaranya saya. Ah ya ya, sejak dulu ternyata saya mengenal jenis mercon yang ramah gender saat Ramadan.

Ah dasar kau mercon Tengis yang dirindukan, tak mungkin pula semua cerita itu akan terulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun