Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kasih Tak Sampai] Jumirah Oh Jumirah

5 Desember 2020   23:29 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:59 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemuda desa tewas mengenaskan, ...

Begitu kurang lebih isi berita dari tautan berita online tak ternama yang terkirim melalui whassap. Baru tiga hari ponsel keluaran terbaru merk terkenal itu berada dalam genggaman tangan perempuan yang juga disebut-sebut dalam berita tersebut.

Dadanya bergemuruh ketika membaca nama Susilo , Mulyono. Nyaris tidak percaya bahwa keputusan untuk menikah berbuntut tragedi. 

Bagaimana tidak?! Sebagai perempuan yang pernah mengenyam kehidupan Kota, Jumirah berharap angan-angan memiliki barang-barang mewah bisa lekas tercapai dengan menikahi laki-laki kaya dari desanya.

Kepulangan Jumirah pun bukan tanpa alasan. Kala itu hape tanpa kamera miliknya mengeluarkan bunyi yang tak merdu sama sekali. Tidak ada foto yang muncul dilayar hapenya, seperti kebanyakan hape yang dimiliki teman-temannya, sesama asisten rumah tangga dari rumah gedong tetangga sebelah.

Awalnya Jumirah ragu menerima panggilan itu. Karena bunyi berisik nyaris tengah malam itulah akhirnya Jumirah menerima panggilan yang ternyata berasal dari kampungnya. Siapa sangka, hal itu terulang hampir tiap malam. 

Jumirah dimabuk angan. Iming-iming kepemilikan hape bagus, hingga motor matic pun membius Jumirah. Menuntunnya kembali pulang ke desa, menunggu untuk dilamar 

Sejak kepulangan Jumirah dari kota, Susilo seperti melihat sosok perempuan baru. Hampir ia tak mengenali lantaran gaya rambut, pakaian, kacamata dan gincu yang dikenakannya. Penampilan Jumirah kali ini nyaris mengubur bayangan Susilo tentangnya. 

Susilo, anak pedagang beras yang kaya raya di desanya sudah lama mengagumi sosok gadis desa yang dulunya lugu dan sederhana itu. Dia bercita-cita, setelah memperistri Jumirah, Susilo akan ikut Jumirah mengadu nasib di Kota. Selama ini Gerobag mie ayamnya cukup punya nama. Hampir menyaingi usaha bapaknya yang sudah dikenal sebagai juragan beras.

Tidak lagi sekedar mie ayam Pondohsari, melainkan mie ayam Wonigiri. Di kota nanti pasti akan banyak pembeli, apalagi kalo Jumirah perempuan cantik itu ikut melayani. Susilo terkekeh, saat membayangkan hidup bersama Jumirah si kembang desa di Perantauan. 

Sebelum kepergian Jumirah ke kota Jakarta, sudah banyak lelaki di desa ini berusaha mendekatinya. Termasuk pak carik Maryoko, pak RT Sumardi yang baru tiga bulan ditinggal mati istrinya, dan Kasino pemilik bengkel motor satu-satunya di desa penghasil gaplek. Mereka sering mendatangi rumah Jumirah diam-diam. Namun Jumirah tidak bergeming.

Baginya, kecantikan yang ia miliki tidak akan diberikan cuma-cuma pada laki-laki biasa saja. 

"Saya belum bisa berpikir ke arah sana, Mas. Berulangkali saya katakan hal yang sama pada orang-orang yang menanyakan." Begitu kilah Jumirah saat laki-laki yang dalam benaknya biasa saja secara harta bermaksud melamarnya.

Satu persatu lelaki yang berharap bisa mempersunting Jumirah si Kembang desa meranggas bagai daun jati berguguran. Kecuali Susilo yang sedang menunggu waktu untuk bicara pada bapaknya, agar si saudagar beras itu melamar Jumirah sebagai menantunya.

Yakin, Jumirah akan menerimanya. Siapa yang tidak mau menjadi menantu juragan beras ternama?. Menjadi istri pemilik kedai Mie Ayam "Mas Sus" yang terletak di depan Balai desa yang sudah banyak pelanggannya.

Malam demi malam berlalu. Tidak seperti biasanya, Susilo mendapati bapaknya begitu sibuk. Hampir setiap hari juragan beras itu pulang larut malam. Dan berangkat pagi-pagi buta sebelum Kokok ayam jantan bersahutan.

"Halo Le, kenapa kok telpon?, " Begitu suara Mulyono menanggapi telpon dari Susilo pada suatu petang.

"Nganu pak, saya mau bicara sesuatu yang penting. Kalo bisa pulangnya jangan malam-malam ya pak, keburu saya tidur" jawab Susilo penuh harap

"Woalah, bapak masih ada urusan di Kota kecamatan nganter pasokan beras untuk bansos. Tidak bisa janji, Sepurane ya Le". Mulyono langsung mematikan hape begitu melihat perempuan semampai berjalan menghampirinya. 

Belum saatnya dia memberitahukan kepada Susilo, bahwa dia akan punya ibu tiri baru. Biarlah nanti jadi kejutan. Senyum Mulyono sembari membatin.

Pendemi korona membawa berkah tersendiri baginya. Sebagai juraga beras, dia banyak mendapat pesanan hingga beratus kali lipat dari sebelum ada wabah. Pesanan beras itu pada umumnya memenuhi ketersediaan bantuan sosial dari beberapa pejabat yang ingin berbagi pada masyarakat. 

Itulah kenapa dia berani mendekati Jumirah. Keuntungannya memasok beras sedemikian mengalir deras. Sudah cukup rasanya kepemilikan sawah, selepan beras hingga gudang padi di desanya. Apalagi dia cuma punya anak laki-laki semata wayang yang sudah cukup puas ketika diberi modal membuka kedai mie ayam.

Kurang apalagi Mulyono? Saatnya kini dia menuntaskan hasrat puber ketiganya. Memiliki istri muda nan cantik jelita. Jumirah namanya.

Tak sulit menaklukkan Jumirah. Diam-diam Mulyono rutin mengantarkan pasokan beras hingga sembako bagi Yu Randa, Ibu dari Jumirah. "

Kebiasaan rutin Mulyono itulah yang memuluskan jalannya menggaet Jumirah. Terlebih Mulyono bukan laki-laki pelit. Dia dengan mudah mengabulkan apa yang Jumirah inginkan. Termasuk memiliki hape baru yang ada kameranya. 

"Wah, kamu makin ayu kalo foto pake hape ini Jum" mata Mulyono menatap hape berharga lebih dari 3 juta.

"Iya tho pak, mangkanya belikan yang ini saja wis ya" punya Jumirah di depan penjaga konter hape di ibukota kecamatan.

Tanpa Ba Bi Bu, Mulyono mengiyakan keinginan Jumirah. Menyerahkan segepok uang dan meminta penjaga konter menghitungnya. Sesaat kemudian baik Penjaga konter, Jumirah maupun Mulyono tersenyum dan berlalu.

Sesuai permintaan Jumirah, semua persiapan pernikahan mereka disiapkan dengan diam-diam. Ketika undangan sudah selesai dicetak, dan disebarkan, ketika itu juga kabar kejutan siap tersiar. 

Setelah ponsel baru ditangan, Jumirah sibuk menghubungi teman-teman kerjanya di kota dulu. Dengan alasan mengabarkan pernikahannya, Jumirah seraya memamerkan barang yang terbilang mewah baginya. Tak terkecuali kepada Paiman, penjual koran di pengkolan komplek tempatnya bekerja. 

Bagi Jumirah, Paiman itu punya peran penting untuk woro-woro, menyampaikan kabar bahwa sebentar lagi Jumirah akan menjadi istri juragan beras. 

Begitulah selama ini Jumirah menilai Paiman yang selalu up date berita. Tak hanya dari koran dan majalah, melainkan juga dari online-online yang membuat Jumirah melongo saat Paiman memperlihatkan hapenya yang bisa digunakan untuk mencari ratusan berita dari mana-mana.

Hari pernikahan hampir tiba. Hanya Jumirah yang ada dalam fikiran Mulyono. Urusan pasokan beras sudah dia limpahkan pada anak buahnya. Pun dia lupa dengan keinginan anak semata wayangnya untuk bertemu. Membicarakan hal penting yang entah itu apa. Budak cinta memang tak kenal usia, tua muda,tak sekedar milik mereka yang berada di Kota saja. 

Sementara Mulyono kian tak sabar ingin melamar Jumirah. Dicarinya sang Bapak ke beberapa penjuru. Sawah, selepan beras, gudang padi, pasar semua tak ada. Matanya nanar saat dia melihat setumpuk undangan tengah dipegang oleh Trimo, orang kepercayaan Mulyono.

"Siapa mau mantu pakdhe ?" Tanya Susilo

" Wah ini, kejutan buat kita semua, termasuk kamu sebagai anaknya " gaya Trimo sedikit membuat Susilo penasaran.

Diraihnya tangan Trimo, beberapa lembar undangan terhambur. Susilo memungut selembar kertas berwarna hijau pupus yang tergeletak di dekat kaki kanannya. Badannya membungkuk. Matanya awas mengeja inisial nama MJ. Berikut dua nama yang terpahat diantara gambar dua cincin yang bertaut.

"Bapak?!" Seketika jantungnya berdetak melebihi pukulan bedug langgar saat malam takbiran. 

"Jumirah?" Lirih dia membaca nama yang selama ini mengisi relung hatinya. Sirna semua angan dan cita-citanya merantau di kota setelah menikahi Jumirah.

Undangan yang Susilo pungut dikembalikan ke tangan Trimo. Hening, tanpa kata. Susilo berlalu begitu saja membuat Trimo bertanya,

" Lho Sus, mau kemana, bantu pakdhemu nyebar undangan"

Susilo terus melangkah menuju kedai mie ayamnya. Pantang baginya menangisi nasib gagal mempersunting Jumirah. 

Begitu tiba di kedai mie ayam, Susilo membuka laci-laci gerobak. Sebotol cairan berwarna biru berbau menyengat dia tenggak sampai habis tak bersisa. Kedai itu tutup, gerobak dan beberapa bangku kayu panjang sengaja dibiarkan berada diluar. 

Tubuh Susilo terduduk di bangku kayu, beberapa saat kemudian mulutnya mengeluarkan cairan berbusa. Matanya melotot namun mulutnya tersenyum. 

"Jum...Jum.." desis itu yang terdengar hingga ia meregang nyawa.

Tak lama desa itu gempar, semua yang mendengar kabar tak lagi menyebut nama Susilo atau pun Mulyono,

Melainkan bergumam "Oalah Jum...Jum"

Begitupun saat Paiman akhirnya harus mengirim tautan berita ke nomor Jumirah , setelah sehari sebelumnya,Jumirah memperlihatkan ponsel barunya.

Karya kolaborasi bersama mas Heri Purnomo 

https://www.kompasiana.com/heripurnomo#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun