Namanya Wasini. Orang memanggilnya mbak Was. Secara fisik, mbak Was tergolong gemuk, namun hal itu tidak mengurangi kepiawaiannya mengerjakan tugas domestik dari mulai belanja, memasak, membereskan rumah hingga melayani kebutuhan lain di rumah majikannya.
Saya mengenalnya 10 tahun lalu saat saya di Yogyakarta. Mungkin bagi banyak orang, mbak Was bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang tokoh ternama yang didengungkan mampu membawa insirasi bagi orang lain. Namun bagi saya, mbak Was adalah sosok yang mampu memberi terang dengan semangat berdikarinya.
Perempuan berusia 48 tahun ini sejatinya sudah cukup lama bekerja sebagai asisten rumah tangga. Berangkat jam 6 pagi, pulang jam 6 sore atau kadang lebih jika memang kondisi menuntutnya untuk bekerja lembur.
Kala itu mbak Was menjadikan sepeda kayuh berwarna biru sebagai kendaraan dinasnya menempuh jarak dari Janti menuju kawasan selokan Mataram. Mbak Was bekerja keras agar anak bungsunya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik darinya.
Perempuan kelahiran Wonosari - Gunung Kidul itu tak sungkan bercerita kepada saya. Tentang harapan akan masa depan anak perempuannya. Dia tentu tidak berharap, sang anak akan bernasib sama dengannya, yang sekedar menjadi asisten rumah tangga.
Itulah kenapa saya tidak sekedar ingin mengeja namanya. Melainkan pula bercerita tentang geliat angkringan yang menghidupi.Â
Setahun sejak perkenalan itu, mbak Was mengabarkan bahwa dia sudah tidak lagi bekerja. Dia mengundurkan diri sebab ingin berdikari. Melalui pesan singkat lewat SMS, mbak Was menyampaikan keinginan untuk bisa memiliki usaha angkringan. Mendengar kata angkringan, entah kenapa saya langsung antusias.Â
Hanya saja mbak Was mengatakan saat itu tidak memiliki modal yang cukup. Masih melalui SMS pula saya menanyakan kira-kira berapa modal yang dibutuhkan. "Rengrengan" alias corat-coret kebutuhan usaha angkringan pun dibuat oleh mbak Was. Biaya terbesar ada pada gerobak. Sebelebihnya masih bisa diupayakan secara bertahap.Â
Alhasil,modal total senilai 2,7 juta menjadi bilangan keramat yang harus dicarikan dari beberapa sumber. Tak lain agar cita-cita mbak Was memiliki usaha sendiri tercapai.
Saya kembali bertemu mbak Was di Jogja untuk memastikan sejauh mana keinginannya untuk memiliki usaha Angkringan. Dalam pertemuan yang kondisinya berbeda dengan sebelumnya itu saya mengetahui mbak Was memiliki suami bernama pak Jentu. Lelaki yang mengakrabi kebudayaan kethoprak Mataraman.
Mbak Was sosok perempuan mandiri. Istri yang memahami segala kondisi. Tekad untuk membuka usaha angkringan pun seolah menjadi solusi agar periuk tetap ngebul, dan anak perempuannya tetap bisa melanjutkan sekolah lanjutan pertama. Hingga meneruskan ke jenjang berikutnya.
Singkat kata, harapan mbak Was terkait usaha angkringan saya tuangkan dalam konsep proposal. Tidak resmi, hanya ditujukan pada perorangan. Bersyukur , beberapa orang berkenan memberi support dalam hitungan ratusan ribu. Terkumpul sesuai dengan anggaran yang dibutuhkan.Â
Angkringan waktu itu memang menjadi primadona usaha. Hampir di setiap ruas jalan di Yogya terdapat gerobak kayu dengan tutup terpal yang menyajikan menu khasnya yang disebut sego/nasi kucing. Aneka lauk tambahan seperti sate telur puyuh, sate usus sate ati ampela, aneka gorengan, bacem tempe tahu, hingga ceker dan kepala ayam yang dibumbui pun dijual sebagai alternatif tambahan lauk.Â
Angkringan sendiri berasal dari Klaten.Banyak dijumpai di wilayah karasiden Solo hingga Semarang- Magelang dan sekitarnya. Kerap disebut dengan istilah wedangan HIK. Selain menyajikan nasi kucing, minuman jahe, kopi jahe hingga teh jahe pun menjadi minuman pilihan.
Angkringan menjadi tempat yang banyak dijujug oleh mereka para pekerja pinggiran. Sebut saja tukang becak, tukang ojek pangkalan, hingga pekerja serabutan lainnya.Â
Belakangan Angkringan menjadi alternatif bagi para mahasiswa dan pelancong yang ingin menikmati santap makan dengan suasana yang berbeda. Begitulah, angkringan banyak dikenal hingga tumbuh subur dan menyebar ke beberapa kota besar lainnya.
Berkembangnya usaha angkringan, menjadikan sistem baru dikalangan pedagang angkringan. Tak jarang mereka hanya menjadi "pedagang -buruh". Kenapa saya sebut demikian? Karena tak jarang para pedagang angkringan hanya bermodal tenaga, sementara gerobak beserta "ubo rampainya"pun  dengan aneka pangannya sudah ada yang memasok. Mereka hanya melakukan setoran dari perolehan hasil jualan.
Berbeda dengan mbak Was yang ingin benar-benar membuka usaha angkringan. Singkat kata modal yang diperoleh melalui penggalangan kecil itu pun sepenuhnya saya serah terimakan langsung kepada mbak Was.Â
Denagan dibantu oleh suaminya , mbak Was menyiapkan kebutuhan. Awal membuka angkringan. Gerobak bekas yang diperbaiki sendiri oleh pak Jentu selaku suami, menjadi Etalase angkringan tanpa nama di Kawasan Janti. Tepatnya di sebuah pertigaan tak jauh dari hotel paku mas Jogya.
Jika Angkringan ramai, mbak Was mampu memperoleh penghasilan sebesar Rp 100.000 hingga 150.000. namun jika sepi penghasilannya hanya berkisar Rp.70.000 - Rp 80.000 saja. Itu sudah termasuk bisa memenuhi kebutuhan makan keluarganya.
Ya, berdasarkan penuturan mbak Was, usaha angkringan jauh lebih membuatnya nyaman secara waktu, tenaga dan penghasilan. Sungguh hal itu bisa saya lihat dalam tiap tahapan.
Saya belajar banyak dari mbak Was. Mental dan semangat berdikari yang terpancar membuat saya kerap singgah di Angkringannya saat saya membutuhkan pasokan inspirasi selama ini. Diam-diam saya menyimpan cita-cita yang kurang lebihnya sama. Meski entah kapan waktunya tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H