Wacana pengesahan RUU Ciptakerja yang menjadi salah satu klaster dalam omnibus law sudah mengemuka. Rencananya RUU penuh kontroversi dan penolakan dari kalangan pekerja/buruh itu akan dibawa ke sidang Paripurna pada 8 Oktober mendatang.Â
Informasi tersebut ramai beredar di media online. Salah satunya bersumber dari wakil Badan legislasi DPR RI, Ahmad Baedowi yang turut memberikan bocoran bahwasanya rapat panja (panitia kerja) RUU Ciptaker berlangsung di Banten dengan alasan sedang ada perbaikan instalasi listrik di Gedung DPR RI.
Terlepas dari penolakan yang muncul selama ini, nyatanya Omnibus law klaster Ciptakerja sudah di depan mata. Pembahasan di tingkat panja sudah memasuki tahap akhir. Tinggal singkronisasi oleh tim perumus yang diketuai oleh Willy Aditya salah satu wakil Baleg dari partai Nasdem.Â
Tahap akhir setelah sinkronisasi adalah pembahasan final di panitia kerja dengan dihadiri kementrian terkait. Dan selanjutnya dibawa ke sidang Paripurna untuk pengesahan.Â
Ya, tahap krusial dalam pembahasan sebuah RUU, khususnya Omnibus law memang tidak serta merta melibatkan mereka yang berada di luar sana. Sekeras dan semasif apapun gerakan Ekstraparlementer, sejauh ini hanya mampu menunda pengesahan sebuah RUU.
Menanggapi rencana pengesahan Omnibus law klaster ciptakerja, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan beberapa federasi serikat buruh lainny konon telah menyepakati akan melakukan mogok massal pada tanggal 6-8 Oktober 2020.Â
Seperti yang dirilis dalam Katadata.id, ketua KSPI Said Iqbal menyebut bahwa dalam mogok nasional nanti, mereka akan menghentikan proses produksi. Para buruh akan keluar dari lokasi produksi dan berkumpul di lokasi yang ditentukan masing-masing serikat pekerja di tingkat perusahaan.
Agaknya kalangan buruh mulai meningkatkan strategi penolakan dari yang semula hanya menggelar aksi demonstrasi besar-besaran untuk penolakan, kini mereka pun siap untuk melakukan mogok massal. Permasalahannya adalah, di era pendemi seperti ini siapkah kalangan buruh menerima konsekuensi resiko penyebaran Korona hingga pembubaran paksa oleh aparat keamanan? Hal itu mengingat beberapa wilayah Jabodetabek khususnya DKI Jakarta masih memberlakukan PSBB.
Siapkah kalangan buruh dianggap menjadi pemicu terciptanya klaster baru penyebaran Covid 19 hingga sanksi pidanan akibat tidak mematuhi protokol kesehatan dengan menggelar acara yang mengakibatkan kerumunan massa?
Kita tentu tidak berharap, ditengah kondisi yang tidak pasti ini kalangan buruh tidak saja terkena dampak secara ekonomi, melainkan pula dampak kesehatan dengan resiko terpapar virus Korona yang kian menggejala.
Belum ada reaksi atau tanggapan terkait rencana aksi mogok massal yang tentunya akan berdampak pada produktifitas pabrik/perusahaan. Ya, beberapa kalangan pengusaha tampaknya memang menahan diri selama pendemi.Â
Fluktuasi daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor siginifikan yang menjadi pertimbangan bagi para pengusaha untuk terus memacu roda produksi , memperlambat hingga menghentikannya untuk sementara waktu. Semua itu saling berkorelasi satu sama lain.
Berbeda halnya dengan KSPI dan beberapa Federasi yang berafiliasi untuk melakukan mogok massal, Fakta mengejutkan datang dari KSPN (Konfederasi Serikat Pekerja Nasional). Ristandi, Presiden KSPN seperti yang dilansir dalam kompas.com justru menyatkana bahwa KSPN Tidak akan mengikuti aksi mogok nasional 6-8 Oktober 2020.Â
Ristandi menambahkan bahwa pihaknya selama ini telah melakukan serangkaian mekanisme advokasi omnibuslaw klaster RUU Ciptakerja. Termasuk terlibat dalam tim Tri partit. Upaya untuk terus mengawal Omnibus law tetap akan dilakukan. Faktor lain yang menjadi alasan KSPN tidak ikut mogok massal adalah faktor pendemi korona yang masih membahayakan kesehatan dan ekonomi.
Mampukan mereka memutus upaya pemerintah dan legislatif untuk mengesahkan omnibus law sebagai produk hukum sapu jagad pertama di Indonesia? Belum cukupkan upaya win-win solution dari pemerintah untuk meangakomodir kepentingan buruh terkait pesangon dan pasal lain yang bisa lebih membuat buruh bekerja lebih tenang?
Sejauh mana aksi mogok massal tersebut berdampak pada perekonomian individu kalangan buruh yang aktif menyuarakan penolakan? Sejauh mana aksi mogok tersebut signifikan mempengaruhi laju produksi-distribusi hinga daya beli masyarakat?Â
Mari kita amati, cermati dan berharap kalangan buruh dapat lebih bijak, tidak berlebihan dalam melakukan kegiatan terkait kerumunan massa di tengah pendemi yang belum sepenuhnya tertangani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H