Debut perundang-undangan di Indonesia bersiap memasuki era baru dengan diperjuangkannya penyelesaian RUU Omnibus law. Sekat antar undang-undang yang senada disatukan agar tidak saling tumpang tindih. Sebaliknya diharapkan saling berkorelasi yang itu semua terangkum dalam tiap klaster yang tetap saling beririsan satu sama lain.
Sebagai satu terobosan kebijakan perundang-undangan,omnibus law kelak akan banyak memuat aturan yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi new normal. Digitalisasi UMKM yang konon akan berimbas pada pemberlakuan pajak penjualan online salah satunya. Sejak awal pembahasan omnibus law banyak ditentang oleh kalangan buruh. Klaster UU ketenagakerjaanpun seolah menciptakan dikotomi keberperpihakan antara buruh dan pengusaha. Padahal beberapa klaster lain pun tak kalah penting untuk disikapi.
Kompleksitas irisan antar klaster yang akan terangkum dalam omnibus law jelas multi dimensional, dan lintas segmen. Lantas, bagaimana posisi perempuan dalam Omnibus law itu sendiri?. Dalam klaster ketenagakerjaan misalnya, sejauhmana point' of view pasal per pasal sudah menampung keberpihakan pada kalangan buruh perempuan dan perempuan Indonesia kebanyakan?.
Cukup banyak perempuan dari kelompok petani, lingkar nelayan, buruh kebun hingga buruh migrant. Hampir disemua bidang ketenagakerjaan terdapat representasi perempuan di dalamnya. Maka sudah sepatutnya lah omnibus law menjadi peraturan perundang-undangan yang mampu memuat keberpihakan pada perempuan.
Sungguh bukan suatu kebetulan bahwa terdapat 3 posisi yang berkolerasi dalam penggodokan Omnibus law. Tidak tanggung-tanggung 2 menteri dan 1 ketua DPR RI dijabat oleh perempuan. Sebut saja Menteri Ketenagakerjaan,Ida Fauziah. Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Dan ketua DPR RI Paling an Maharani. Rekam jejak mereka tentu sudah tidak diragukan lagi. Sayang sejauh ini belum ada informasi siapa saja anggota DPR RI perempuan yang turut mengawal jalannya proses legislasi hingga Omnibus law nanti tidak bias gender.
Dari penelusuran digital terdapat jejak penolakan omnibus law justru muncul atas nama perwakilan kelompok perempuan. Sebut saja Solidaritas perempuan yang merupakan salah satu NGO yang selama ini aktif menyuarakan keberpihakan pada perempuan.
Satu kelompok perempuan yang berada  di luar sistem legislasi bersuara negatif atas upaya kehadiran omnibus law. Begitupun beberapa komponen buruh perempuan yang konon akan banyak dirugikan akibat aturan dalam klaster ketenagakerjaan. Sementara 3 Sri kandi yang memiliki jabatan krusial dan terlibat dalam penggodokan Omnibus law jelas-jelas berjenis kelamin perempuan.
Apakabar pengarus utamaan gender dalam perumusan omnibus law? Cukup representatifkah solidaritas perempuan yang menolak dengan tegas omnibus law mewakili perempuan Indonesia secara keseluruhan?.
Jika saja pendekatan yang pengarus utamaan gender tersebut cenderung kuantitatif salah satunya seperti dalam UU politik yang mengatur tentang kuota 30 % perempuan, maka solidaritas perempuan harus merangkul lebih banyak lagi suara perempuan dari berbagai kalangan yang mewakili persebaran profesi dan ruang dari berbagai penjuru Indonesia.Â
Tentu " jumlah" tersebut masih belum sebanyak perempuan yang bernaung di bawah muslimat dan Fatayat NU yang dalam yakin saya akan mendukung penuh Menteri tenaga kerja, Ida Fauziah. Begitupun jika kemudian harus menggunakan kapasitas kuantitas politik seorang Puan Maharani. Pastinya gerbong "banteng perempuan" menjadi salah satu suara keterwakilan perempuan yang cukup signifikan.
Yang perlu diingat adalah, proses undang-undang sendiri berada di ranah kualitatif. Sekecil apapun klausul yang didalamnya mengatur point' of view yang menyangkut keberpihakan pada perempuan sebagai wujud pengarusutamaan gender tetap harus diperjuangkan.Â
Ar Rieke Dyah Pitaloka (Oneng) , Eva Kusuma Sundari, Nurul Arifin, Krisdayanti, Rachel Mariam, Vena Melinda dan Sederat nama perempuan yang berhasil duduk di DPR RI sana?.Mereka hanyalah segelintir anggota DPR RI perempuan yang sudah memiliki rekam jejak keberpihakan sosial pada perempuan. Sayang belum banyak nama an
Jika ternyata dari internal badan legislasi support kehadiharan perempuan tidak cukup mampu memberi warna pada kualitas Omnibus law yang lebih ramah perempuan, maka patutlah kiranya suara minoritas yang datang dari sekelompok perempuan menjadi keterwakilan aspirasi perempuan. Besar harapan suara tersebut tidak teredam oleh jalan panjang omnibus law dengan segala pernak perniknya.