Judul tulisan ini saya buat tidak untuk mendahului takdir. Namun ibarat hendak memainkan jurus perlawanan, maka hendaknya wajib memasang kuda-kuda dengan seksama.Â
Begitulah sebentuk "provokasi " kecil yang ingin saya percikkan pada rekan-rekan buruh, pelaku UMKM hingga elemen manapun yang selama ini peduli dengan perkembangan proses legislasi Omnibus law.
Pro kontra hingga demonstrasi buruh sepertinya bukan bongkahan batu besar yang mampu menghentikan laju aliran pembahasan aneka klaster yang akan dirangkum dalam omnibus law. Bahkan disaat reses pun anggota DPR RI begitu bersemangat meneruskan pembahasan.Â
Meski konon proses pembahasan RUU selama masa reses menyalahi aturan dalam UU MD3 itu sendiri. Somasi dari kelompok yang mengatasnamakan denokrasi pun sempat dilayangkan sebagai bentuk kritis tajam hingga tuduhan yang mengarah pada proses RUU Omnibus law cacat prosedur.Â
Target pengesahan RUU Omnibus law pada bulan September ini semoga tidak menjadikan pembahasan point' per poin dalam beberapa klaster penting terkesan kejar tayang semata. Â
Realita kondisi ekonomi ditengah pendemi membutuhkan solusi yang harus memiliki dasar hukum dalam aturan UU omnibus Lawa itu sendiri. Tidak hanya menyangkut ketenagakerjaan, UMKM, perpajakan, penanaman modal dan investasi melainkan pula irisan sinergi yang memiliki benang merah dengan beberapa sektor lain seperti pendidikan, penyiaran/penyebarluasan informasi publik.Â
Dua sektor itu menjadi krusial mengingat pendidikan dan ketenagakerjaan ibarat dua sisi mata uang. Sebagai contoh program kartu pra kerja yang didalamnya banyak akses pendidikan berbasis digital yang ditujukan pada mereka yang tidak bekerja khususnya bagi yang terkena dampak pendemi. Â
Begitu pula terkait sinkronisasi UU penyiaran/penyebarluasan konten yang terkait dengan beberapa point' dalam Omnibus Law. Pemanfaatan akses digital ditengah pendemi tentu harus memiliki jaminan keamanan dan terhindarkan dari kebocoran data untuk penyalahgunaan kepentingan.
Ya, ibarat bola salju, omnibus law akan memiliki korelasi dengan banyak sektor kehidupan masyarakat,berbangsa dan bernegara. Akan banyak irisan klausul dari yang semula hanya ada dalam klaster yang disepakati hingga kehendak untuk singkronisasi dengan UU lain diluar klaster yang sudah menjadi agenda pokok bahasan.
Lantas apakah Omnibus law akan tetap disahkan meski banyak celah baik dari sisi klaster ketenagakerjaan, perpajakan hingga penanaman modal/investasi?. Jika dirunut, semua UU yang selama ini disahkan prosesnya pun demikian.Â
Memang tidak semudah mengatakan tiada gading yang tak retak. Sebagai Omnibus law pertama yang akan menjadi spirit revolusi perundang-undangan, omnibus law tentu masih butuh penyempurnaan.
Itulah kenapa Judicial review hendaknya bukan menjadi wacana semata, melainkan butuh kesiapan tim lintas elemen yang siap mengawal dan memperjuangkannya melalui jalur konstitusi diluar proses legislasiÂ
 Masalahnya adalah, sejauh mana anggota DPR RI dalam hal ini Baleg (badan legislasi) yang terlibat dalam penuh dalam pembahasan RUU Omnibus law membuka diri dan terbuka untuk sharing pokok masalah yang dinilai krusial?.Â
Hal ini menjadi tolak ukurb bahwaproses Omnibus Lawal tidak hanya menjadi ranah kekuasan politik semata,sehingga pada akhirnya nanti omnibus law tercipta melalui serangkaian proses bersama.Â
Sudahkan Baleg maksimal dalam menggelar RDPU (rapat dengar pendapat umum) misalnya. Kelompok mana saja yang hadir mewakili buruh, pelaku UMKm, pengusaha , perwakilan wajib pajak yang dinilai mampu memberi masukan, kritik positif terhadap konsep yang ada.
Jadi sesungguhnya celah yang ada dalam RUU Omnibus law bisa diantisipasi jika DPR mau lebih terbuka selama pembahasan sehingga tidak ada lagi istilah pasal zombie, dan atau pasal siluman yang merubah konsensus inti yang sudah dibahas dan disepakati dalam proses internal legislasi itu sendiri.
Dan puncaknya ketika omnibus law sesuai rencana disahkan pada bulan September ini ,maka segala konsekuensi ketidakpuasan dan celah dari omnibus law tetap bisa berlanjut melalui Judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Jika pengesahan RUU menjadi UU omnibus law menunggu kesiapan DPR RI untuk menyelesaikan segala bentuk kewajiban intelektual pemikiran yang dituangkan dalam bentuk kalimat hukum yang disepakati bersama sesuai prosedur legislasi, maka sebaliknya kesiapan RUU Omnibus law yang setelah disahkan menjadi UU untuk uji materi tentu datangnya dari para pemohon melalui mekanisme yang berlaku di Mahkamah konstusi.
Nah hayyooo, siapkah kami eh kita eh siapa yang siap untuk meminta uji materi alias Judicial review terhadap omnibus law setelah di sah kan nanti?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H