Aksi massa yang melingkupi arena penggodokan omnibus law di gedung DPR gegap gempita terdengar dari luar. Tidak demikian halnya dari dalam yang seolah mampu diredam oleh tembok pembatas antara para pendemo dengan pengambil kebijakan yang diminta menyelesaikan PR perundang-undangan.Â
Jikalau nanti omnibus law 100 % selesai dan diketok tanda telah disahkan, maka satu prestasi sejarah prolegnas DPR RI yang selama ini terkesan lamban dan nyaris tanpa prestasi. Adalah hal yang wajar pro kontra hingga aksi massa yang menolak sebuah proses perundang-undangan. Apalagi ini omnibus law pertama yang lahir di tengah pendemi dan ketidakpastian ekonomi global.
Kebijakan pemerintah untuk memberi lapis perlindungan kesejahteraan pun kian merata. Tidak saja bagi mereka yang belum/tidak bekerja melalui prakerja, pelaku umkm melalui pemberian bantuan modal umkm, baru saja pemerintah juga menambah insntif bagi pekerja yang rutin membayarkan iuran BPJS ketenagakerjaan. Tudingan bahwa pemerintah tidak berpihak pada pekerja seolah dijawab dengan istilah catur "skak mat" melalui program kongkret tanpa ada proses Pro-Kontra.Â
Pertanyaan menggelikan terlontar dari benak saya, jika dalam perumusan kebijakan perundang-undangan mengenal istilah Menolak dan menerima, lantas bagaimana dengan dana/insetif yang sudah mulai dikucurkan kepada para pekerja yang terdampak meski secara bertahap? adakah kelompok yang menolaknya? Hal ini patut kiranya menjadi renungan bersama.
Proses legislasi yang tengah dilakukan oleh sebagian besar anggota DPR tentu tidak akan berhenti sesaat setelah pengesahan RUU menjadi Undang-undang saja.Â
Dalam kaitanya dengan omnibus law yang mengatur lintas sektoral apalagi. Perlu ada sosialisasi yang sistematis dan inovatif. Jika selama ini sosialisasi UU terkesan asal-asalan dan ala kadarnya saja, maka sosialisasi UU Omnibus law jika memang berhasil disahkan harus "extra-ordinary", masif, menyeluruh dan mampu dipahami oleh banyak kalangan. Baik itu yang setuju atau pun yang menolak.
Omnibus law diciptakan bukan untuk dilanggar! Terlebih oleh para stakeholder pemangku kebijakan dan kepentingan (dalam hal ini pihak pemberi kerja/perusahaan) itu yang terpenting. Bahwa implementasi atas sebuah UU terkadang dianggap sebelah mata dan hanya menjadi milik kalangan/golongan tertentu saja. Paradigma ini tentu harus dirubah jika memang legislasi nasional juga menjadi ranah kerangka ruang yang menjadi lingkup dari revolusi mental yang selama ini menjadi jargon perubahanan.Â
Jika selama ini peraturan dibuat untuk dilanggar itu sudah menjadi rahasia umum, maka Omnibus law harus mampu menghapus dan merubah paradigma serta perilaku sosial yang salah kaprah atas pelanggaran terhadap perundang-undangan yang dianggap sepele dan hanya bisa diselesaikan melalui proses "main mata" atau bawah tangan semata.
Dan yang tak kalah penting adalah, proses perubahan atas Undang-undang itu sendiri masih bisa diperjuangan untuk dirunah melalui prosedur Judicial Review yang prosesnya berada di Mahkamah Konstitusi. Siapa saja baik perorangan atau lembaga bisa mengajukan uji materi atau peninjauan kembali terhadap suatu aturan perundagan melalui jalur kontitusional yang lebih sistematis dan jelas konsepsi hukum/aturannya.Â
 Dalam Judicial review nantinya pihak pemohon dalam hal ini kelompok yang merasa tidak puas/dirugikan bisa mengajukan klausul perubahan dalam pasal per pasal yang ada dalam Undang-undang secara lebih bertanggung jawab.Â
Ya Judicial Review menjadi salah satu mekanisme win-win solution yang bisa ditempuh ketika pada akhirnya Omnibus law diketok dan disahkan oleh DPR RI tanpa perlu menjadikan penolakan dari kalangan buruh sebagai satu-satunya pertimbangan.Â