Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dalam ketidakpastian global di tengah upaya pulih dari pendemi. Optimisme dan bahu membahu berbagai elemen masyarakat menjadi antibodi alami atas ketahanan sosial ekonomi. Bukan hanya pemerintah saja yang memiliki tangung jawab atas kondisi yang sedang melanda kita sekarang ini. Melainkan tiap individu yang ada, baik perseorangan ataupun kelompok.
Sebagai seorang ibu rumah tangga kreatif, saya bersyukur masih diberi kelancaran rejeki melalui penghasilan suami. Syukur saja tidak cukup. Dibutuhkan kelihaian dalam mengelola management keuangan rumah tangga. Terlebih dalam kondisi begini. Ingin rasanya mengencangkan ikat pinggang, namun antisipasi dan upaya menjaga imunitas keluarga agar sehat dan tetap produktif butuh kecerdasan finansial tersendiri, khususnya dalam berbelanja.
Berada di rumah selama kurang lebih 3 bulan nyatanya pemenuhan kebutuhan harus tetap ekstra maksimal. Bagi yang memiliki anak sekolah, kebutuhan ekstra quota Internet untuk mendukung pembelajaran di rumah patut diperhitungkan. Begitupun dengan ekstra kebutuhan lain berupa vitamin, persediaan masker, dan hand sanitizer yang harus masuk dalam daftar persediaan yang ada di rumah.
Belanja kebutuhan selama pendemi banyak dilayani secara online. Mau tidak mau suka tidak suka adaptasi terhadap dunia digital ditengah ketidakpastian memang mutlak diperlukan.
Apresiasi yang tinggi saya sampaikan kepada mereka yang kreatif dengan usaha rumahan yang dipasarkan secara online melalui media sosial. Namun saya juga terhenyak ketika membaca testimoni dari seorang teman yang harus menanggung kecewa setelah berbelanja online di sebuah market place akibat kalap belanja.
Habis 800 ribu tapi barangnya tidak karuan. Begitu kalimat yang ditulis yang membuat saya pun memberikan komentar. Berawal dari situlah saya yang selama masa pandemi memilih untuk menjadi konsumen dari kawan-kawan yang memiliki usaha rumahan. Dan membantu promosi minimalis dengan memberi testimoni dan mengup-load produk mereka di media sosial.
Ya, di tengah ketidakpastian global, cerdas finansial sekaligus sosial menjadi suatu keharusan. Berikut hal yang saya lakukan agar menjadi konsumen cerdas finansial dan sosial.
1.Berbelanja offline sesuai kebutuhan maksimal 2 buah untuk 1 item barang
2. Memberi jeda/jarak waktu saat ingin membeli sesuatu diluar kebutuhan mendesak minimal 3 hari maksimal 3 minggu. Hal ini untuk melatih kita terhindar dari lapar mata. Biasanya setelah waktu jeda tersebut, keinginan membeli menjadi menurun atau bahkan tidak ingin sama sekali.
3. Memanfaatkan promosi potongan harga sesuai kondisi keuangan, atau promo beli 1 gratis 1 dengan harga yang wajar.
4. Batasi saldo dompet digital ketika akan belanja online. Agar terhindarkan dari kalap belanja.
5. Sisihkan sebagian belanjaan untuk berbagi pada orang lain. Misalnya saat saya mendapat promo beli 1 gratis 1 maka 1 untuk sendiri, 1 lagi diperuntukkan untuk berbagi.
6. "Jimpitan beras" setiap akan memasak nasi. Bisanya ketika saya memasak 3 takar beras, maka akan saya sisihkan 1 takar untuk dikumpulkan dalam tempat terpisah. Jika sudah terkumpul lumayan banyak bisa menjadi sarana berbagi/donasi.

8. Tergabung dalam kegiatan sosial baik menjadi relawan atau mendonasikan bahan makanan di Lumbung pangan. Sudah 3 x saya mengumpulkan bahan makanan dari hasil promosi beli 1 gratis 1 dimana sebagian saya donasikan pada lumbung pangan baik dikirim lewat jasa logistik ataupun diserahkan secara langsung. Disinilah letak kecerdasan sosial kita menjadi terlatih.Â

Yuk semangat mewujudkan keduanya agar ketidakpastian itu tidak menganggu #Makroprudensial Aman Terjaga demi pulihnya stabilitas keuangan di segala sektor kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI