Mbok Mijah melipat kain batik berwarna kusam dan meletakkannya di dipan kayu. Rambutnya yang memutih di sanggul cempol. Guratan wajahnya menandakan usia yang tak lagi muda.
Sejenak dia bangkit menuju "Luweng". Menambah beberapa batang kayu hingga kobaran api kian membesar. Di atas tungku yang terbuat dari tanah liat itu,terlihat periuk berisi anyaman janur berbentuk kubus persegi empat yang sudah diisi beras oleh tangan sepuh Mbok Mijah.
Rumah Mbok Mijah terbilang sederhana. Dindingnya terbuat dari batu bata tanpa finishing semen. Jelas tidak tersentuh warna cat. Lantainya masih "plester"Â semen, bukan keramik seperti kebanyakan rumah lain disekitarnya.
Di rumah itu pula, perempuan berusia lebih dari 70 tahun itu tinggal seorang diri. Anak semata wayangnya merantau di negeri sebrang. Menjadi pelaut mengabadikan kegemarannya mencari ikan.
Ya, anak laki-laki yang begitu Mbok Mijan cintai. Tak sedikitpun Mbah Mijan lupa setiap malam hari raya tiba, anak laki-laki yang hampir setiap hari berenang di kali Pemali itu dandan rapi. Mengenakan sarung dan peci.
Sengatan panas dari bara api yang Mbah Mijan tunggui membuyarkan kenangan akan anaknya yang dia rindukan. Sudah tiga kali lebaran dia tak pulang. Sesekali ia berkirim kabar dan mengirimi uang melalui teman perempuannya, Sulastri.
Ada harap dari lubuk hati Mbah Mijan, Sulastri akan menjadi menantunya. Menikah dengan anak laki-lakinya.
"Mbok....sampeyan wonten pundi?"Â suara perempuan memanggil dari pintu depan. Pendengaran mbok Mijah memang sedikit terganggu akibat umurnya yang tidak lagi muda.
Sulastri pun masuk ke rumah yang sudah tidak asing lagi baginya. Tengah dia dapati mbok Mijah tengah merebus ketupat janur.Â
"Mbok...mbokkk.." suara Lastri mendekat sembari menepuk pundak mbok Mijah
"Heeehh...sopo" reflek mbok Mijah menengok.
Senyum mengembang dari dua perempuan berbeda generasi. Lastri menuntun tangan mbok Mijah. Mereka duduk di bangku kayu panjang di sudut ruangan.
"Mbok, besok Mas Hilal Pulang, kapalnya malam ini sandar di Cirebon" Lastri mengulang kalimatnya dua kali sembari mendekatkan mulutnya ke telinga Mbok Mijah.
"Ojo ngapusi, bener ora?!" , tangan mbok Mijah menepak pundak Sulastri.
Anggukan berkali-kali sembari menahan haru dari Sulastri membuat mbok Mijah langsung memeluk perempuan muda berparas ayu, berhati baik itu. Mereka berpelukan,larut dalam kebahagiaan.Â
Keduanya menjadi sibuk merapikan rumah sederhana tak peduli malam telah. Takbir berkumandang sedari sore hingga dini hari tiada henti. Irama keagungan Tuhan menjadi pengantar semangat menyambut datangnya Hilal.Â
Kabar kepulangan anak Mbok Mijah malam itu langsung tersebar dari mulut ke mulut oleh warga di sekitar kali Pemali. Teman sepermainan Hilal yang kini telah remaja antusias menyambut kerabat mereka. Petasan telah disiapkan, meski dengan sembunyi-sembunyi akibat pak RT melarang membunyikan petasan di malam lebaran.Â
Sebagian warga yang mampu, membagikan beras kepada tetangga yang hidupnya tak seberuntung mereka. Panitia zakat fitrah pun berkeliling membagikan zakat yang terkumpul di langgar kecil tepian kali Pemali sesuai daftar yang tertera.
Saat Mbok Mijah diberi Paket berisi beras, dan sembako lainnya oleh pengurus RT, dengan rendah hati Mbok Mijah menyerahkan kembali dan meminta agar diberi ke yang lebih membutuhkan.
Lho kenapa mbok? Kok tidak mau menerima sembako?
"Hilal arepe teko"
Hilal sudah akan datang, begitu jawabnya berulang dengan wajah riang.
Seiring gema takbir, nyatanya Hilal Riyadi memang benar datang. Setelah ia mengarungi luasnya samudra, singgah di berbagai Kota, Kini Hilal Riyadi pun menyapa dengan bahagia keluarga dan warga di Tepian Kali Pemali.
Selamat Idul Fitri
Mohon maaf lahir dan batin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H