Senyum mengembang dari dua perempuan berbeda generasi. Lastri menuntun tangan mbok Mijah. Mereka duduk di bangku kayu panjang di sudut ruangan.
"Mbok, besok Mas Hilal Pulang, kapalnya malam ini sandar di Cirebon" Lastri mengulang kalimatnya dua kali sembari mendekatkan mulutnya ke telinga Mbok Mijah.
"Ojo ngapusi, bener ora?!" , tangan mbok Mijah menepak pundak Sulastri.
Anggukan berkali-kali sembari menahan haru dari Sulastri membuat mbok Mijah langsung memeluk perempuan muda berparas ayu, berhati baik itu. Mereka berpelukan,larut dalam kebahagiaan.Â
Keduanya menjadi sibuk merapikan rumah sederhana tak peduli malam telah. Takbir berkumandang sedari sore hingga dini hari tiada henti. Irama keagungan Tuhan menjadi pengantar semangat menyambut datangnya Hilal.Â
Kabar kepulangan anak Mbok Mijah malam itu langsung tersebar dari mulut ke mulut oleh warga di sekitar kali Pemali. Teman sepermainan Hilal yang kini telah remaja antusias menyambut kerabat mereka. Petasan telah disiapkan, meski dengan sembunyi-sembunyi akibat pak RT melarang membunyikan petasan di malam lebaran.Â
Sebagian warga yang mampu, membagikan beras kepada tetangga yang hidupnya tak seberuntung mereka. Panitia zakat fitrah pun berkeliling membagikan zakat yang terkumpul di langgar kecil tepian kali Pemali sesuai daftar yang tertera.
Saat Mbok Mijah diberi Paket berisi beras, dan sembako lainnya oleh pengurus RT, dengan rendah hati Mbok Mijah menyerahkan kembali dan meminta agar diberi ke yang lebih membutuhkan.
Lho kenapa mbok? Kok tidak mau menerima sembako?
"Hilal arepe teko"
Hilal sudah akan datang, begitu jawabnya berulang dengan wajah riang.