Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Membuat Dodol Betawi, Sebuah Tradisi Menjelang Idul Fitri

18 Mei 2020   23:13 Diperbarui: 18 Mei 2020   23:11 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto beritaJakarta.id

Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung. Sebuah peribahasa yang mengingatkan saya akan sebuah makna untuk menyatu dengan lingkungan sekitar. Khususnya yang menyangkut kedekatan dengan masyarakat kultural.

Dua kali lebaran ini saya bersama keluarga berada di perantauan. Tidak mudik, memenuhi anjuran pemerintah agar penanganan wabah Corona kian tertuntaskan. Hampir satu tahun berdomisili di Jakarta Selatan tepatnya di Pondok Pinang, nuansa multikultural itu jelas ada. Namun menghargai warga asli setempat yang merupakan masyarakat Betawi menjadikan kita hidup lebih menapak bumi.

Keberadaan warga asli Betawi di lingkungan sekitar tempat kami tinggal secara resmi terwadahi dalam Ikatan Betawi Pondok Pinang  Beberapa nama jalan di kawasan ini bahkan identik dengan nama-nama tokoh Betawi seperti Haji Muhi,Haji Saimun,Haji Midar hingga Haji Eman menjadi rekam jejak masyarakat Betawi menetap di kawasan ini.

Beberapa menu makanan khas Betawi antara lain nasi Uduk, ketupat sayur hingga asinan Betawi  pun bisa dengan mudah dijumpai di kawasan pondok pinang. Sebutan Mpok,Abang, Nyak, Babeh kerap terdengar saat beberapa warga asli bercakap-cakap.

Begitulah sebuah tradisi tidak akan mati atau putus generasi manakala bisa diwarisi dan dilangsungkan dalam kehidupan sehari-hari ataupun pada momentum khusus tertentu. Pada saat menjelang hari raya Idul Fitri misalnya. Bahkan muncul istilah lebaran Betawi, yang menjadi momentum akulturasi antara nilai religi dan nilai budaya asli Betawi.

Tak sulit saya beradaptasi dengan warga asli Betawi. Bermodalkan aksen logat lu-gue, dan panggilan ramah yang digunakan saat saya menyapa mereka berupa Mpok, bang, hingga Babeh, menjadikan saya larut dalam sebuah tradisi diluar daerah asal saya.

Melalui obrolan singkat dengan Mpok Anis saya sungguh tak mengambil jarak atas sebuah tradisi. Termasuk ketika Mpok Anis mengisahkan bahwa setiap menjelang lebaran dia bersama beberapa warga sibuk membuat dodol Betawi.

Ya, dodol atau di beberapa daerah di Jawa disebut Jenang merupakan makanan tradisional yang terbuat dari tepung beras ketan dicampur dengan gula merah. Hanya saja, cara dan teknik membuatnya lah yang kerap berbeda..

Dodol Betawi dibuat khusus pada saat menjelang Idul Fitri. Ada syarat wajib yang harus dipenuhi oleh si pembuat dodol. Bagi Ibu-ibu atau kaum perempuan harus dalam keadaan "suci" tidak sedang mengalami datang bulan. 

Ini selaras dengan filosofi dodol Betawi yang disajikan saat lebaran nanti, dimana semua orang akan kembali ke fitrah alias suci, tidak meninggalkan salah sedikitpun melalui proses saling memaafkan.

Sumber foto beritaJakarta.id
Sumber foto beritaJakarta.id
Sementara kaum laki-laki akan sigap untuk mengaduk adonan bahan dodol diatas tungku minimal  10 jam hingga dodol Betawi matang sempurna. Selama mengaduk adonan, Bapak-bapak ataupun anak lelaki dilarang berkata kasar.

Menariknya lagi,konon pembuatan dodol Betawi menjelang idul Fitri dilakukan secara gotong royong. Dari segi pengadaan bahanpun dilakukan dengan patungan. Siapa menyumbang apa atau berapa untuk memelihara bahan kebutuhan membuat dodolnya. Hingga saat pembuatan pun, proses gotong royong tetap berlanjut. Sampai dodol Betawi matang dan harus dibagi rata pada semua yang terlibat dalam proses pembuatan dodol. 

Dodol Betawi untuk Idul Fitri menjadi sajian lebaran anti kesenjangan. Dulu di setiap rumah warga asli Betawi akan tersedia potongan dodol dalam piring. Menjadi menu kue lebaran yang kompak di setiap rumah.

Rasa dodol yang manis legit ini memang tak pernah lekang oleh zaman. Terlebih ketika membuat dodol Betawi menjadi bagian dari tradisi menjelang idul Fitri.

Sayang,konon tradisi membuat dodol Betawi secara gotong royong sudah semakin memudar kini. Warga lebih cenderung memilih untuk membeli atau memesan dodol pada penjual. Praktis sih, tapi justru itu yang membuat tradisi warga Betawi menjadi sebuah elegi, bahwa tradisi Betawi kian meringsek oleh budaya masa kini.

Ssssttt siang tadi saya pun ikut "urun" untuk menambah pembelian bahan. Sayang proses pembuatan dodol konon baru akan dilakukan pada hari Kamis mendatang. Biasanya proses membuat dodol lebaran kurang 4-3 hari. Hal itu dimaksud agar saat lebaran, dodol masih "anget-anget" gitu. Begitu kurang lebih celoteh  Mpok Anis. 

Hmmmmm saya pun membayangkan bagaimana rasanya dodol Betawi fresh from the oven. Matur sembah Nuwun Gusti, meski saya besar di kalangan masyarakat Jawa, namun sudah dua lebaran ini nanti saya menyatu dengan tradisi warga Betawi.

Salam persaudaraan....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun