Rasanya seperti ingin menulis diatas lembaran buku diary saja malam ini. Menumpahkan gejolak batin yang merupakan bentuk komplikasi atas kekhawatiran, keinginan yang tak terwujud dan kesedihan.Â
Masa-masa sulit yang harus aku jalani saat Ramadan tahun lalu telah berhasil aku lalui. Siapa sangka Ramadan tahun ini aku kembali dihadapkan pada situasi yang secara batin jauh lebih sulit lagi. Hal itu berawal saat aku mendapat kabar tentang kesehatan Ibu sebulan yang lalu.
Ramadan tahun ini agaknya kita semua memang tengah diuji. Pendemi yang sedemikian menjadi membuatku tak bisa melakukan perjalanan pulang ke Tegal.
Sedikit terlambat aku mengetahui bahwa ibu sempat dilarikan ke rumah sakit dan menjalani rawat inap selama beberapa hari. Secara medis, Ibu mengalami komplikasi jantung yang membutuhkan perawatan intensif dari dokter spesialis.
Tiga Minggu sebelum Ramadan tiba, aku menyempatkan pulang ke Tegal. Menemani ibu untuk rutin kontrol sembari memastikan betul apa sebenarnya yang telah menjadi rekam medis penyakit selama ini secara langsung dari dokter yang menangani.
Meski waktu itu dokter memberi keterangan yang membuatku sedikit lega. Bukan berarti aku sebagai anaknya bisa begitu saja berleha-leha.Â
Selama di Tegal aku mencoba memastikan ibu mendapat perawatan yang maksimal. Dari segi media, asupan obat, dan gizi melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Hingga suport energi jarak jauh dari para pegiat Reiki pun aku mintakan khusus sebagai usaha untuk membuat ibu pulih.
Hampir tiap malam aku tidak bisa tidur dengan tenang. Andai bisa aku memohon kepada Tuhan untuk menukar tempat penyakit itu, biarlah aku saja yang menanggung vonis dokter atas semua penyakit yang diderita oleh Ibu. Apa daya aku hanya bisa memeluk dengan doa dan cita seorang anak kepada orang tua.
Setiap aku berkomunikasi melalui video call, setiap itu pula aku mencoba menanyakan apa yang ibu keluhkan. Ternyata ibu mengalami hal yang sama, tidak bisa tidur sepanjang malam. Saat aku bertanya apakah ibu puasa? Alhamdulillah, dalam sakit yang dideritanya Ibu tetap  berusaha menjalankan ibadah puasa Ramadan. Aku menahan air mata saat ibu mulai bercerita bahwa usaha UMKM yang digeluti oleh bapak lebih dari 40 tahun lamanya kini harus benar-benar berhenti.
Toko sepatu/sandal yang selama ini menjadi etalase yang memajang sebagian hasil karya buatan bapak tak lagi beroperasional seperti biasanya alias tutup.Â
Dimusim Corona seperti ini, siapa yang akan membeli sandal/ sepatu sekedar untuk memenuhi kebutuhan lifestyle?! Yang ada semua berusaha berhemat, hanya membeli kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan makan, minum saja, itu yang utama.
Air mataku nyaris tumpah saat suara ibu tercekat menahan tangisnya. Uang dengan nominal tak seberapa yang aku kirim saat awal puasa kemarin justru ditanggapi oleh ibu dengan kata-kata yang membuatku ingin bersimpuh dikakinya.
"Tidak usah memaksa kirim uang ke orangtua kalau kamu  gag ada" begitu kurang lebih ibu berucap.
"Ada kok Bu, tapi belum banyak, makanya kirim ke Tegal pun hanya bisa seadanya" begitu jawabku berusaha menyakinkan Ibu.
Ramadan kali ini benar-benar membawaku pada sebuah suasana batin yang paling sulit. Sebab tak ada seorang anak yang akan membiarkan orangtuanya dalam kondisi sakit dan terdampak secara ekonomi saat musim pendemi begini.
Teruntuk Bapak dan Ibu di Tegal, aku hanya bisa memeluk kalian dalam tiap untaian doa yang aku panjatkan. Semoga senantiasa diberi kesehatan dan tetap diberi jalan rejeki akan bisa tercukupi semua kebutuhan.Â
Maafkan anakmu jika selama ini banyak membuat kesalahan. Semoga Allah memberiku kesempatan agar tetap bisa menjadikanku sebagai anak yang berbakti kepada orang tua dan mampu memberi kebahagiaan pada mereka.
Amin
Salam sungkem kangen Bapak Ibu,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H