Padahal sudah masak sendiri, kenapa masih tetap ingin beli ini itu untuk buka puasa? Inikah yang disebut dengan kalap atau lapar mata belanja makanan untuk berbuka puasa??!! Aduh, jangan sesali apalagi menyalahkan diri sendiri. Yuks saatnya berbagi.
Setiap petang menjelang, tak jauh dari hunian banyak lapak dadakan yang menjual aneka makanan untuk berbuka puasa atau yang kerap di sebut takjil. Umumnya para pedagang mulai menata meja portabel mereka dengan aneka macam pada jam 16.00.Â
Tak berselang lama, lapak berderet di kanan dan kiri yang ada umumnya menyajikan gorengan, kolak, bubur sumsum, bihun,biji salak, asinan Betawi, arem-arem atau lontong isi oncom hingga aneka es itu mulai ramai didatangi pembeli. Tiap lapak yang ada menjual menu makanan yang hampir sama. Rata-rata mereka menjual mulai dari harga Rp. 1000/biji hingga Rp.5000/kemasan.
Pukul lima sore menjadi puncak keramaian dimana pembeli begitu ramai menyerbu pedagang pilihannya. Suasana petang pun sedemikian menggoda dengan iming-iming aroma dan wujud makanan untuk berbuka puasa.
Tak terkecuali saya. Meski sudah memasak sendiri dirumah, tetap saja singgah untuk membeli apa saja di salah satu pedagang yang ada. Pernah suatu ketika hujan turun dengan derasnya. Hanya karena rasa iba dengan pedagang yang tampak muram, saya pun akhirnya membeli makanan ala kadarnya sekedar menjalankan niat berbagi rejeki.
Sejatinya sunah nabi mengajarkan pada kita untuk jauh dari kalap dalam berbelanja makanan, khususnya untuk berbuka puasa. Cukup dengan 3 butir kurma saja, air secukupnya menjadi buka puasa yang dibutuhkan bukan yang sekedar diinginkan. Apadaya, meski telah ada kurma, kolak, tetap saja membeli makanan lain sekedar memenuhi keinginan.
Akhirnya, kolak yang saya masak sendiri dengan porsi lebih cenderung tersisih. Ya, kapasitas perut saat berbuka puasa memang harus dijaga. Jangan sampai kalap makan yang justru berakibat rasa sakit kemudian.
Lantas, jika sudah terlanjur kalap belanja makanan, apa yang harus kita lakukan kemudian? Memaksakan diri untuk menghabiskan, jelas sebuah paksaan yang beresiko. Membiarkan makanan tak terjamah, sebuah tindakan kemubadziran. Saatnya kita menebus rasa bersalah dari kalap belanja makanan dengan berbagi pada mereka yang membutuhkan.
Saya pun menyisihkan sebagain kolak hasil masak sendiri dan beberapa gorengan untuk tetangga terdekat. Semangkuk kolak dan beberapa gorengan yang jumlahnya berlebihan, bisa menjadi sarana berbagi bagi mereka di sekeliling kita yang membutuhkan. Daripada terbuang karena tak dimakan? .
Terlebih pada musim pendemi begini, jiwa solidaritas kita harus benar-benar dijaga. Jangan sampai lupa diri kenyang makan untuk sendiri, sementara ada tetangga atau orang lain yang tak bisa makan sesuatu untuk sekedar berbuka puasa.
Setiap 1 jenis makanan yang kita beli untuk dimakan, tak ada salahnya kita sisihkan 1 jenis makanan yang sama atau berbeda yang akan kita bagikan pada mereka yang membutuhkan. Baik itu terjadi tetangga yang secara ekonomi terkena dampak Corona , pemulung yang lewat, tukang ojek, atau siapapun mereka yang masih lebih membutuhkan makanan dibanding dengan kita, yang hanya suka belanja makanan.Â
Yakinlah, bahwa kalap belanja yang kita lakukan tetap harus memiliki nilai sosial bagi sesama baik saat musim Corona hingga kapanpun juga.
Salam,Ingat tetap Berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H