Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Cerita Dalam Sepotong Martabak

19 April 2020   17:53 Diperbarui: 19 April 2020   17:51 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang yang pernah tinggal di Tegal,dulu  saya kerap mengakrabi  makanan bernuansa manis satu ini. Martabak era tahun 90-an belumlah berinovasi rasa seperti sekarang ini.

Konon Lebaksiu, sebuah kecamatan di kabupaten Tegal pun menjadi daerah penghasil martabak, dalam artian banyak warganya yang berdagang martabak di hampir  setiap penjuru tanah air.

 Martabak Lebaksiu pun menjadi tenar adanya. Menjadi satu diantara khasanah martabak lain seperti martabak Bandung, Bangka atau terang bulan pada umumnya.Bagi kami orang Tegal, istilah kue terang bulan kurang lazim menjadi sebutan. Baik yang manis maupun yang asin, sebutan kami tetaplah sama, yakni Martabak. Untuk membedakannya cukup menambahkan kata manis atau Ndog (telur) dibelakang kata Martabak.

Tersebutlah sepasang suami istri, Yu Idah dan Om Udin. Mereka berjualan martabak kekunoan di alun-alun Kota Tegal. Sebutan alun-alun sebenarnya bukan dalam artian sebenarnya. Sebab alun-alun yang dimaksud adalah pasar malam, berada tak jauh dari stasiun kereta api kota Tegal. Persis di sebrang bangunan kuno yang pernah dijadikan sebagai kampus salah satu universitas swasta di Kota Tegal.

Meski om Udin bukan asli Lebaksiu, namun akhirnya sebagian warga memanggilnya dengan sebutan Udin Martabak yang dijual saat itu sangat sederhana. Bentuknya setengah lingkaran. Adonan yang di cetak dalam loyang berat diisi taburan gula, kacang sangrai tumbuk, atau meisis. Sesuai selera. Kemudian bulatan bercita rasa manis itu dilipat. Warnanya kecoklatan dengan pinggiran garing dan renyah. Sementara tengahnya tebal, lembut dengan tekstur, citarasa dan wangi  yang khas.

Dulu, seloyang martabak dengan isian gula, kacang, meisis dan kental manis hanya dijual seharga 750 hingga 1500 saja.  Pada umumnya Martabak manis biasa berisi kacang sangrai tumbuk+taburan gula. 

Sementara martabak manis special isinya ditambah dengan meisis dan kental manis harganya 1500. Pada waktu itu , Penjual membungkus martabak hanya dengan kertas minyak saja, diikat dengan karet. Hampir di setiap sudut alun-alun kota Tegal berderet gerobak penjual martabak. Mereka mulai berjualan pada sore hingga malam hari.

Saya ingat persis, jika dagangan martabak om Udin sepi akibat hujan, maka pada pagi harinya Yu Idah berjualan keliling kampung menawarkan martabak manis yang tak habis dijual dengan jaminan masih layak dikonsumsi. 

Keluarga kami kerap membelinya. Tak jarang mereka menjualnya lebih murah dari harga semestinya. Lumayan,  sebagai pengganti roti untuk sarapan pagi. Tampir tiap Minggu kami mengkonsumsi martabak jadul (jaman dulu).

Hingga tiba suatu musim, Om Udin memutuskan untuk tidak berjualan martabak lagi. Alasannya, alun-alun kota Tegal sepi, sejak dibangun mall dan aneka pusat perbelanjaan modern. Banyak penjual martabak yang gulung tikar. Akhirnya om Udin pun beralih profesi menjadi tukang becak. 

Padahal waktu memasuki awal tahun 2000, harga martabak manis  tradisional konvensional sudah dibrandrol kisaran harga Rp. 5000- Rp 10.000. Sudah ada varian isi ketan hitam, kelapa, pisang, hingga keju. Begitulah kisah penjual martabak konvensional kala itu.

Tahun 2005, kali pertama saya ke Jaya pura- Irian Jaya (waktu itu belum bernama Papua), kaget sekaligus terharu ketika ternyata penjual kue terang bulan, alias martabak manis disana adalah orang Lebaksiu. 

Berbeda halnya dengan Om Udin yang tidak bisa survive berjualan martabak di Kota Tegal, para perantau dari Lebaksiu pada umumnya justru survive dan berhasil di perantauan hanya dengan berjualan martabak. Harga martabak  yang dijual kota-kota besarpun cukup bersaing. Apalagi kue terang bulan yang saya beli waktu itu Timur Indonesia sana, harganya sudah mencapai Rp 25.000 untuk isi Cokelat -Keju. Wajar, harga bahan mentahnya saja sudah mahal, berbeda dengan di Pulau Jawa.

Kini, puluhan tahun sudah saya mengakrabi citarasa Martabak manis. Hadirnya inovasi martabak manis kekinian, bukan saja menjadi variasi menghindarkan kebosanan, melainkan menjadi penanda level kenaikan kelas bagi mereka yang bergerak di dunia usaha kuliner Martabak. Petang ini saya menikmati seporsi martabak manis yang saya beli secara online. 

Harga yang tertera untuk seloyang martabak manis adalah Rp 78.000 (wow ,untuk ukuran saya). Beruntung ada promosi yang menyertakan diskon 50% sehingga saya cukup membayar Rp 38.000+ ongkos kirim.  Saya membaca keterangan lengkap jenis dan ukuran martabak yang saya pesan, Large (besar) , Cheese(Keju) , Cokelat (menyebutkan merk cokelat premium).

Kurang lebih 15 menit pesanan saya diantar oleh jasa ojek online. Memberi tips, uang tambahan pada pengemudi Ojol disaat begini, menjadi keharusan tersendiri setiap saya memesan makanan. Meski ongkos kirim sudah terbayarkan melalui dompet digital yang terkoneksi dalam satu sistem. 

Ucapan terima kasih seraya menerima bungkusan kemasan ibarat menjadi rangkaian yang menggenapkan cerita. Berat, batin saya menenteng bungkusan kemasan martabak.

 Kemasannya yang rapi dengan kotak pembungkus kekinian yang ramah lingkungan. Tertulis merk/brand martabak tersebut lengkap dengan alamat beberapa gerai dan nomor kontaknya. Eksklusif memang, beda jauh dengan martabak konvensional era tahun 90-an.

Aroma wangi seketika menyeruak ketika kotak pembungkus saya buka. Glowing alias mengkilap, tekstur kulit martabak tanda dioles mentega atau butter.

Irisannya cukup presisi dengan ketebalan yang cukup membutuhkan mulut terbuka maksimal untuk merasakan nikmatnya. Tiga potong martabak manis kekinian sungguh membuat saya kenyang. 

Jika dulu tahun 90-an saya kerap menyantap martabak kekunoan sebagai menu sarapan pagi, maka kini tahun 2020 saya menyantap martabak kekinian sebagai menu pengganti makan malam.

Salam nikmat sehat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun