Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semangat, Niat, dan Tekad Membumikan Macapat di Zaman yang Serba Cepat

3 Oktober 2019   04:33 Diperbarui: 3 Oktober 2019   04:40 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pri foto sareng Romo Projo

Lebih dari sepekan momentum itu berlalu. Sebuah akhir pekan yang penuh makna atas sepenggal pengalaman luar biasa. Saya dan empat orang kompasianer menjadi bagian dalam kegiatan bertajuk Workshop Macapat 2019 di Anjungan DIY Taman Mini Indonesia Indah. Diselenggarakan oleh sinergi dari Badan Penghubung Daerah Istimewa Yogjakarta yang bekerja sama dengan dinas Kebudayaan DIY, kami mengikuti tahap demi tahap mempelajari macapat dari dasar.

Romo Projo yang memiliki nama lengkap Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono dengan detail dan begitu sabar mengajarkan cara membaca not dalam bahasa Jawa.

Peserta yang berjumlah lebih dari 50 orang terdiri dari lintas generasi dan lintas elemen dengan bersungguh-sungguh menyimak dan mengikuti tiap petunjuk nada yang diberikan.

Bagi sebagian kecial peserta yang berasal dari pegiat budaya dari perwakilan diklat kethoprak, tembang macapat tentu sudah tidak asing lagi. Namun bagi generasi zaman now yang diwakili oleh sejumlah mahasiswa Sastra Jawa Universitas Indonesia, tentu lain lagi ceritanya.

dok.pri dua dari skeian mahasiswa Satra Jawa UI. Dua orang ini berasal dari JAwa TImur, yakni Tuban dan Banyuwangi
dok.pri dua dari skeian mahasiswa Satra Jawa UI. Dua orang ini berasal dari JAwa TImur, yakni Tuban dan Banyuwangi
dok.pri Bozz madyang sinau macapat..jozz
dok.pri Bozz madyang sinau macapat..jozz
Beruntung, saya termasuk yang pernah belajar macapat. Meski sebagian besar tembang macapat itu sudah tidak lagi saya hafal. Tidak ada hal yang sulit manakala ada semangat, niat, dan tekad yang melekat untuk belajar macapat.

Anjungan DIY TMII menjadi saksi bahwa selama kurang lebih 6 jam, latihan panembrono (koor/ acapela) macapat bisa menjadi upaya membumikan tembang yang berisi petuah bijak dalam menjalani perputaran fase kehidupan sejak masih dalam kandungan - lahir- remaja- berumah tangga - hari tua - hingga saat kembali kepada sang pencipta.

dok.pri kwartet kompasianer sina macapat
dok.pri kwartet kompasianer sina macapat
dok.pri foto sareng Romo Projo
dok.pri foto sareng Romo Projo
Macapat merupakan tembang budaya yang teramat istimewa alias bukan tembang biasa. Terdiri dari 11 tembang yakni Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung. Konon Macapat diciptakan oleh para Wali yang dikenal sebagai walisongo era zaman kerajaan di Indonesia.

Beberapa pujangga keraton baik di Jawa ataupun Bali meciptakan beberapa variasi syairnya. Syair macapat pada umumnya menggunakan bahasa Jawa sastra yang memiliki makna mendalam.

Namun tembang macapat ini terikat pada beberapa syarat aturan berupa :

*Guru Gatra,  jumlah baris (larik) dalam setiap baitnya.

*Guru Lagu, suara vokal akhiran kata dalam setiap baris (larik : A-I- U --O)

*Guru Wilangan,  jumlah suku kata (wanda) pada tiap baris (larik)

dok.Pri Asmardana Pelog Barang
dok.Pri Asmardana Pelog Barang
Pada umumnya Macapat dinyanyikan secara tunggal atau bersama-sama (Panembrono) tanpa iringan gamelan/karawitan lengkap. Meski demikian dalam macapat dikenal istilah Slendro atau pelog yang menjadi petunjuk tangga nada sebagai petokan nada dalam menembangkan lagu macapat.Dalam versi slendro ada 5 tangga nada yang menjadi rentang ritme untuk melantunkan tembang macapat.

Jika umumnya not nada yang kita kenal dibaca Do Re Mi Fa Sol (1-2-3-4-5) maka dalam sledro macapatan dibaca Ji (siji) - Ro( loro) - Lu( telu) Pat (papat0 - Mo( limo).

Sementara untuk pelog memiliki interval tangga nada yang lebih banyak sejumlah 7. Istimewanya lagi, not nada 7 (pitu) tidak dibaca Tu melainkan Pi. Sehingga dalam pelog dikenal not nada Ji-Ro-Lu-Pat-Mo-Nem-Pi (1-2-3-4-5-6-7).

Sejatinya belajar macapat butuh waktu yang lumayan lama. Namun apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Pemerintah daerah DIY yang telah berupaya nguri-nguri kabudayan Jawi melalui workshop Macapat dalam waktu singkat.

Hingga akhirnya hasil workshop dipentaskan pada malam hari dengan hasil yang luar biasa. Pamenbromo Mocopatan sukses digelar, dilanjutkan dengan diskusi dengan nara sumber  Dr. Karsono Hardjo Saputra, S.S,M.Hum.

sumber Jawa POs : Kelas Macapat di lingkungan Keraton Yogjakarta
sumber Jawa POs : Kelas Macapat di lingkungan Keraton Yogjakarta
Semoga ini hanya pemantik awalan. Berharap kedepan banyak pihak akan saling bersinergi dalam membumikan kebudayaan nan adiluhung sebagai bagian dari proses transformasi nilai lintas generasi.

Bagi teman-teman yang ingin serius belajar macapat, Keraton Ngayogjakarta Hadiningrat melalui Pamulangan Sekar (Macapat) KHP Kridha Mardawa memberi kesempatan kepada siapapun tanpa dipungut biaya untuk mengikuti kelas seminggu sekali pada hari-hari tertentu.

Salah satu guru atau priyayi yang mengajar adalah Romo Projo. Monggo kita sematkan semangat , niat dan tekad membumikan macapat di zaman yang serba cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun